Rabu 28 Aug 2019 15:19 WIB

Jaksa Ini Ingin Ubah Mekanisme OTT di KPK

Menurut jaksa ini, operasi tangkap tangan bisa menjadi penghalang pembangunan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan uji publik di Kementerian Sekertariat Negara, Jakarta.
Foto: republika/Dian Fath Risalah
[Ilustrasi] Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan uji publik di Kementerian Sekertariat Negara, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak berniat mengubah mekanisme operasi tangkap tangan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, operasi tangkap tangan (OTT) bisa menjadi penghalang pembangunan.

Tanak mencontohkan kasus proyek pembangunan Meikarta menjadi terhalang lantaran adanya kegiatan tangkap tangan. Padahal, banyak yang sudah menanamkan investasi besar dalam proyek tersebut. 

Baca Juga

"Sekiranya OTT yang dikatakan itu kegiatan terencana. OTT itu suatu tindak pidana yang seketika terjadi. Kalau ada dan penyadapan, harusnya disampaikan daripada ditangkap disidik dan diperiksa sehingga menghabiskan uang negara," kata dia dalam uji publik seleksi capim KPK di Jakarta, Rabu (28/8).

Ia menjelaskan, menurut ilmu hukum, tangkap tangan adalah penangkapan yang terjadi yang seketika dan tak ada rencana ditangkap. Karena itu, bila direncanakan untuk ditangkap maka bukan lagi tangkap tangan. 

"Ini dua kata yang bertentangan. Satu bilang direncanakan, menurut ilmu hukum bukan direncanakan, tetapi seketika itu terjadi tindak pidana dilakukan seketika itu ditangkap. Jadi, tidak direncanakan ditangkap. Menurut saya secara ilmu hukum itu keliru," kata dia.

Idealnya, ia mengatakan, penegak hukum harus memahami ini dalam pemberantasan hukum. "Saya sangat antusias berantas korupsi, tapi cara-caranya ini kita harus ikuti aturan hukum yang ada dan prinsip hukum yang berlaku. Kita tidak boleh menyimpang dari prinsip hukum yang berlaku," terang dia.

Untuk saat ini, kata dia, pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni pencegahan dan penindakan. Bila dalam melakukan penyadapan dan kemudian diketahui akan terjadi tindak pidana penyuapan dan korupsi, ia menilai, ada baiknya yang bersangkutan dipanggil untuk dicegah.

"Ini kita cegah supaya uang negara tidak keluar. Kita panggil, bener tidak kamu melakukan ini? Oh iya benar. Kalau begitu kamu bikin pernyataan pada hari ini, tanggal segini bulan sekian tahun sekian bernama ini benar telah berpikir untuk melakukan tipikor dan telah diketahui oleh pihak yang berwenang," ujarnya.

Pelaku juga harus menuliskan surat pernyataan bersedia dituntut dan dihukum dengan hukuman terberat tentang tindak pidana korupsi bila kembali mengulang perbuatan tersebut. "Pernyataan itu dia pegang disampaikan kepada seluruh lembaga penegak hukum termasuk MA. Karena ketika dia lakukan itu maka MA akan melihat dan kita akan serahkan," terangnya.

Menurut Tanak, ia akan menyampaikan saran dan ide mengenai pencegahan itu kalau terpilih menjadi komisioner KPK. "Saya akan beri masukan ke teman-teman. Pimpinan KPK bukan hanya saya. Ada lima. Tentunya kolektif kolegial ini berlaku. Cuma kita kan harus memberikan pemahaman yang baik," ucapnya.

Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2019 kembali melakukan tes wawancara dan uji publik terhadap terhadap tujuh kandidat komisioner KPK. Uji publik hari kedua ini masih berlangsung di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8).

Tujuh orang capim KPK yang akan menjalani uji publik hari ini berasal dari latar belakang profesi berbeda. Mulai dari pengacara, jaksa, hakim, hingga dosen. Mereka di antaranya yakni Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak, advokat yang juga mantan wakil ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar.

Selain itu, ada akademisi Luthfi Jayadi Kurniawan, mantan kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang saat ini sudah pensiun M Jasman Panjaitan, hakim Pengadilan Tinggi Bali Nawawi Pomolango, dosen Neneng Euis Fatimah, dan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement