Selasa 27 Aug 2019 11:29 WIB

Lagu Gombloh-Titiek Puspa: Sejuta Rasa Pemindahan Ibu Kota

Pemindahan ibu kota ditanggapi di media sosial kaum milenial dengan riuh rendah.

Salah satu gedung bersejarah di kawasan Kota Tua, Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Salah satu gedung bersejarah di kawasan Kota Tua, Jakarta.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

“Luar biasa belum ada 24 jam pengumuman oleh Pak De, udah ada iklan pengembang segede gambreng dari pemegang saham.’’ Itulah tulisan teman saya yang super sibuk pergi ke sana kemari ke berbagai sudut tanah air, Selasa pagi ini. Membaca tulisannya yang disertai penampakan iklan di ibu kota baru itu, saya tanggapi dengan senyum saja.

‘’Jadi apa itu artinya? Adanya iklan segeda gaban hari ini di koran Kompas menandakan bahwa sebenarnya sudah banyak tahu lokasi ibu kota akan di mana. Kita sudah maklumlah,’’ katanya sembari meruntuk seraya tetap tak bersedia menyebutkan nama karena takut disemprot bosnya.

photo
Keterangan: Iklan pengembang sehari setelah pengumuman pemindahan ibu kota di sebuah media massa.

Teman saya yang lain dan mantan wartawan malah hanya menanggapi dengan sikap santai. Dia bahkan terkesan banggsa dan bertepuk tangan. “Hebat dan sangat gerak cepat. Kayaknya (memang) sudah dapat info sejak sebelum pengumuman kali ya,’’ tukas dia sembari membalasnya dengan emoji tertawa pada komentarnya.

Nah, ketika soal serupa saya minta pendapatnya seorang Wakil Walikota dalam sebuah pertemuan semalam, dia pun bersikap sama dengan kedua teman saya. Dia gembira pula.

’’Iyalah. Saya tak terkejut. Saya sudah tahu berapa perusahaan pengembang yang akan menarik untung besar,’’ tukasnya sembari tersenyum. Dia juga tak mau menjawab ketika ditanya kemungkinan beberapa perusahaan pengembang terkemuka yang akan untung besar.’’Sudahlah. Biar saja,’’ tukasnya.

Saya pun tertawa semakin bahagia mendengar kepastian ibu kota akan pindah. Meski teman jurnalis senior, Tegus Setiawan, tetap berkata kagak enak: entah nyinyir atau optimis. Dia mengaku trauma dengan kasus SMK yang mirip lagunya mendiang Gombloh: 'Di Angan-Angan.''

Namun, Teguh tetap fair. Selaku peminat sejarah dia tetap berani mengatakan sebuah fakta bila polemik pindah ibu kota dari Jakarta bukan hal baru. Tak tanggung-tanggung mungkin sejak VOC masuk Indonesia.

"Yang lebih pasti lagi pemindahan lokasi ibu kota dari Jakarta pun sudah dilakukan sejak zaman Daendels. Kala itu Jakarta tak lagi ada di sekitar Pelabuhan Sunda Kalapa (Sekarang Kota Lama), tapi berpindah ke arah Selatan, yakni Welterverden di sekitar Gambir. Di sini kemudian seadab kemudian muncul kawasan Menteng dan di awal kemerdekaan ada meluas dengan wilayah yang bernama Kebayoran.

Rekan saya yang staf ahli anggota DPR dan pengamat jempolan atas isu pertahanan, Fahmi Alfansi Pane, juga bersemangat menyambutnya pemindahan ibu kota. Melalui akun di media sosialnya dia menulis kajian singkatnya terkait soal pemindahan ibu kota sebuah negara dari sisi pertahanan.

“Korea Selatan itu kaya tapi terancam perang dengan Kore Utara. Perang keduanya pun belum berakhir resmi. Korsel berupaya pindahkan ibu kota dari Seoul ke Sejong. Kota yang berjarak sekitar 100 km dari Seoul ini dibangun 2007, tapi sampai hari ini (sudah 12 tahun) pemindahan belum selesai dilakukan,'' kata dia.

Uniknya, setelah menulis komentar itu Fahmi menuliskan kata perminataan maafnya.''

Maaf, ini hanya cerita kecil tentang orang kaya yang memindahkan ibu kotanya ke kota yang dekat dan berada di pulau yang sama."

Yang menarik lagi ya kalau kemudian melongok media kaum milineal yang bernama 'Youtube'. Kaum muda yang kini sudah mulai tak menonton televisi konvenional itu tentu  menyaksikan debat antara sesepuh ekonom sekaligus mantan menteri lingkungan Prof DR Emil Salim dengan pakar tota kota serta mantan menteri Bappnes. Bagi kaum milineal perdebatan ini mencerahkan karena banyak menyingkap tabir dan asumsi soal pemindahan ibu kota hari-hari ini.

Dan tentu saja, yang jadi viral di media sosial adalah tulisan Dahlan Iskhan. Begitu diumumkan tempat ibu kota baru berada, maka mantan Bos Jawa Pos ini mengatakan sudah tahu tempatnya.

Ya itulah sepenggal kisah pemindahan ibu kota. Mudah-mudahan tak lagi bernasib seperti lagunya Gombloh 'Diangan-Angan'. Namun, nantinya akan meriah layaknya lagu lama Titik Puspa yang hits dinyanyikan Edy Silitonga.

‘Jatuh Cinta Sejuta Rasanya... Amboi rasanya....”

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement