Selasa 08 Oct 2019 06:17 WIB

Belajar Pindah Ibu Kota dari Kazakhstan

Pemindahan dari ibu kota bukan hal serampangan.

Museum Astanagenplan Kazakhatan, yang memberikan gambaran desain Ibu Kota Kazakhstan, Astana atau Nursultan Nazarbayev.
Foto: republika/joko sadewo
Museum Astanagenplan Kazakhatan, yang memberikan gambaran desain Ibu Kota Kazakhstan, Astana atau Nursultan Nazarbayev.

Oleh: Joko Sadewo, Jurnalis Republika dari Astana, Kazakhstan

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan secara resmi rencana pemindahan ibu kota negara. Rencananya ibu kota akan dipindahkan dari Jakarta ke kabupaten Kutai Kertanegara serta Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Sejumlah alasan digulirkan, mulai dari kemacetan, kepadatan penduduk, polusi, banjir, rawan bencana alam, dan sebagainya.

Adapun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun menyampaikan sejumlah alasan pemindahan. Mereka mengungkap tentang Jakarta yang sudah padat, kontribusi ekonomi terhadap produk domestik bruto (PDB), krisis ketersediaan air, hingga konversi lahan di Jawa mendominasi. Usulan pemindahan ini kemudian memunculkan lagi pro-kontra. Tidak hanya di kalangan elite tetapi juga sampai ke masyarakat kelas menengah ke bawah.

Namun utamanya, alasan pemindahan lebih pada persoalan pemindahan ibu kota dianggap bukan hal prioritas. Masih ada persoalan kemiskinan, pengangguran, konflik di dalam negeri, dan sebagainya. Dan yang menjadi sorotan tentu saja anggaran memindahkan ibu kota yang angkanya sangat besar, mencapai Rp 466 triliun.

Polemik pemindahan ini juga menjadi perhatian sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Kebetulan DPD RI juga sedang menghadiri Pertemuan Parlemen Negara Eurasia di Astana, yang kini berganti nama menjadi Nursultan Nazarbayev, ibu kota Kazakhstan.

Untuk diketahui, Kazakhstan termasuk negara yang sukses dalam memindahkan ibu kotanya. Sejak dibangun pada 1997 dan mulai menjadi ibu kota Kazakhstan pada sekitar 1999, Astana telah berkembang menjadi kota yang modern di kawasan Asia Tengah.

Tidak hanya sukses berkembang sebagai kota yang maju secara ekonomi dan sosia, Astana juga banyak dihiasi dengan bangunan-bangunan indah yang memberikan kontribusi yang besar bagi kebudayaan dunia.

Anggota DPD RI, Damayanti Lubis, yang memimpin delegasi DPD RI, mengatakan, Indonesia bisa belajar dari Kazakhstan. "Perkembangan penduduk, tata kota. Pemerintah bisa membuat regulasi agar tidak terjadi urbanisasi berlebihan, tinggi bangunan tidak boleh lebih dari 300 meter, dan sebagainya,” kata Damayanti saat mengunjungi museum pemindahan ibu kota Kazakhstan, Astanagenplan LLP.

Keputusan adalah awal

Kepala Kereta Api, yang dulunya staf ahli presiden untuk pemindahan ibu kota Kazakhstan, Farid Gulinov mengatakan, problem utama pemindahan ibu kota adalah persoalan psikologi. Hal ini karena ibu kota negara sudah lama eksis di sebelah selatan, yaitu Almaty. “Di sana udaranya hangat, lalu pindah ke wilayah yang udaranya dingin, banyak warga yang mempertanyakan untuk apa pindah?” kata Gulinov.

Permasalahan kedua, Kazakhstan merupakan pecahan dari Uni Soviet. Mereka telah diwariskan dengan struktur yang sudah ada. “Namun, Ibu kota di selatan (Almaty—Red) terlalu dekat dengan negara lain di wilayah selatan. Kita harus pertimbangkan keamanan negara dibandingkan pertimbangan psikologis,” kata dia, menjelaskan.

Adapun pemindahannya ke Astana, menurut Gulinov, karena Astana karena berada di tengah-tengah. Walaupun agak di utara, letaknya dekat ke Kazakhstan wilayah barat atau timur. Kemudian juga persoalan kebutuhan suplai ibu kota baru, mulai dari kebutuhan energi, industri, dan pangan, ini harus diperhitungkan.

Gulinov menjelaskan pemindahan ibu kota merupakan persoalan yang kompleks dan rumit. Untuk itu, perlu upaya yang terkonsolidasi dengan baik. Perlu sejumlah hal yang dilakukan secara bertahap. "Jadi, yang harus dilakukan adalah keputusan dulu. Kalau di Kazakhstan, diputuskan oleh Majelis Tinggi Kazakhstan,” kata dia.

Jika sudah dipindahkan, lanjutnya, barulah kemudian dilakukan penyiapan segala kebutuhan ibu kota baru. Mulai dari penyediaan gedung-gedung pemerintahan, tempat tinggal pegawai pemerintahan, jalan, infrastruktur lain, dan pengembangan-pengembangan lain yang harus dipikirkan. Setelah diputuskan, presiden yang saat itu dijabat Nursultan Nazarbayev, mengeluarkan dekrit. Baru kemudian dibentuk tim yang dikepalai wakil PM, yang satu tim beranggotakan 30-35 orang.

"Mereka yang mempersiapkan semua, kecuali pendanaan. Saat itu belum ada dana besar karena habis merdeka. Jadi, melalui dana nonbujeter untuk pemindahan ibu kota ini,” kata Gulinov. Untuk pertama kali persiapan dana yang keluar sekitar 30 miliar dolar AS. Dari jumlah itu, dana dari pemerintahan sekitar 20 persen.

“Ibu kota baru itu membutuhkan banyak uang, tapi pada saatnya dia bisa mandiri dan mengembalikannya. Proses ini dialami empat hingga lima tahun,” papar Gulinov. Hal yang memudahkan Kazakhstan adalah tidak ada masalah dalam penyediaan lahan ibu kota. Semua tanah mayoritas dimiliki negara, kecuali ada beberapa tanah yang penguasaannya sudah diberikan pada asing. Misalnya ada masterplan kota yang ternyata tanahnya sudah dikuasai asing.

Secara garis besar, Gulinov mengatakan, sebenarnya persoalan pemindahan ibu kota itu hal yang biasa saja. Jepang sudah empat kali gonta-ganti ibu kota, Amerika tiga kali, Kazakhstan juga sudah empat kali, Rusia bahkan bolak-balik dari Moskow ke St Petersburg lalu ke Moskow lagi.

Direktur Astanagenplan Kazakhstan Arseniy Pirozhkov menjelaskan, keputusan pindah ibu kota diambil pada 1997. Pada 1998 proses pemindahan dimulai dan pada 2001 mulai proses pembangunan.

Prinsip tata kota yang dikembangkan, menurut Pirozhkov, adalah keseimbangan antara alam dan industri. Mereka memperhatikan peruntukan area dengan sangat ketat, termasuk memperhatikan suplai kebutuhan pokok warga yang tinggal di ibu kota.

Menurut Pirozhkov, saat ini ada 123 titik permukiman dengan jumlah warga 1,6 juta orang. Sementara, untuk di dalam Kota Astana, hanya 400 ribu orang saja.

Kazakhstan sangat ketat dalam menjaga konsep yang sudah mereka siapkan. Mereka sangat menjaga populasi maupun bangunan-bangunan di kawasan tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement