REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI -- Pengamat politik Universitas Jambi Mochammad Farisi mengatakan, banyak proses yang harus dilalui untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Banyak proses tersebut karena sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah berbeda.
“Dan yang menjadi pertanyaan, jika GBHN tersebut dihidupkan kembali, presiden harus bertanggung jawab dengan siapa jika ia menjalankan GBHN tersebut? kalau dahulu presiden dipilih oleh MPR selaku lembaga tertinggi negara, sekarang kan sudah dilakukan pemilu,” katanya di Jambi, Ahad (25/8).
Menurut Farisi, tidak ada salahnya GBHN dihidupkan kembali, namun banyak proses yang harus dilalui untuk menghidupkan kembali GBHN tersebut, termasuk siapa yang akan merancang GBHN tersebut. Ini karena sebelum masa reformasi GBHN tersebut dirancang dan disusun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga tertinggi negara.
Namun saat ini MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan telah berubah menjadi lembaga tinggi negara, sama dengan DPR dan lembaga tinggi negara lainnya.
Sehingga menurut Farisi, akan banyak proses yang harus dilalui. Karena saat ini MPR tidak lagi memiliki wewenang untuk menyusun atau merancang GBHN tersebut. Jika harus dipaksakan, maka pemerintah harus melakukan amandemen terhadap undang-undang dasar.
Dijelaskan Farisi, regulasi dan teknis pelaksanaannya juga harus jelas sehingga tidak menimbulkan permasalahan lebih besar lagi. Selain itu, harus disusun oleh orang yang benar-benar berkualitas dan memiliki jiwa kenegarawanan yang tinggi.
“GBHN ini kan merupakan arah pembangunan bangsa, selama lima, sepuluh hingga lima belas tahun ke depan," ” kata Mochammad Farisi.