REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat tata ruang kota Nirwono Yoga memberikan komentar mengenai rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan, meski lokasi tepat di pulau itu masih menjadi tanya besar. Ia mengatakan, pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan sejumlah kriteria lokasi yang sesuai untuk menjadi ibu kota baru negara ini.
Di antara kriteria tersebut adalah lokasi yang strategis secara geografis, aman dan bebas bencana, sumber daya air yang cukup, serta infrastruktur dan aksesibilitas seperti bandara, pelabuhan, dan jalan raya memadai. Selain itu, keterjangkauan dengan laut, kota pesisir atau pantai sebagai simbol negara maritim atau bahari dan kemudahan konektivitas laut (pelabuhan), dan kota terbuka yang toleran, di mana tingkat konflik sosial rendah antara masyarakat lokal dan pendatang juga termasuk dalam persyaratan ibu kota baru Indonesia.
Pemerintah saat ini telah berpikir untuk memanfaatkan ibu kota baru sebagai pusat pemerintahan yang dirancang dapat menampung 900.000 hingga 1,5 juta penduduk. Ibu kota baru Indonesia juga diharapkan bisa menggerakkan ekonomi di wilayah sekitarnya.
Pada 16 Agustus lalu, dalam pidato kenegaraan HUT RI ke-74 dan sidang bersama DPD dan DPR RI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Ia juga meminta izin kepada seluruh rakyat untuk mendukung rencana tersebut.
“Pemerintah ingin mengurangi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa dengan mendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa,” ujar Nirwono kepada Republika, Jumat (23/8).
Lebih lanjut, Nirwono mengatakan kecenderungan pemerintah untuk memilih wilayah Pulau Kalimantan memunculkan alternatif usulan kota/kabupaten sebagai kandidatnya. Seperti Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang mengusulkan Balikpapan, Samarinda, serta Kabupaten Penajam Paser Utara, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelumnya, Jokowi juga sudah meninjau kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang memiliki luas sebesar 61 ribu hektar di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kemudian, Provinsi Kalimantan Tengah mengajukan Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Gunung Mas yang juga ditinjau oleh Jokowi pada 8 Mei lalu. Sementara itu, Provinsi Kalimantan Selatan mengajukan Kabupaten Tanah Bumbu, bahkan di luar Kalimantan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat turut menawarkan Mamuju sebagai kandidat ibu kota baru Indonesia.
Meski demikian, Nirwono mengingatkan bahwa seperti apa yang dikatakan Jokowi, bahwa pemindahan ibu kota merupakan rencana jangka panjang, yang bahkan bisa dilakukan dalam 50 tahun atau 100 tahun lagi. Ia mengatakan banyak pekerjaan yang harus disiapkan agar perencanaan benar-benar matang, penuh kehati-hatian, dan berkelanjutan.
“Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat provinsi hingga kota/kabupaten yang menjadi kandidat ibu kota baru harus meninjau dan merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan RTRW kota/kabupaten,” jelas Nirwono.
Nirwono mengatakan, penyesuaian rencana tata ruang, peruntukan lahan milik negara, persoalan batas wilayah, antisipasi konflik sosial, serta dampak dan kapasitas daya dukung lingkungan merupakan beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan dalam merevisi RTRW.
Nirwono juga mengatakan, bahwa Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta, dan UU No.29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu ditinjau ulang. Ia menekankan, bahwa pemerintah harus segera berkoordinasi dengan partai politik dan DPR untuk mendapatkan dukungan politik ke depan untuk menjamin pemindahan ibu kota baru akan terus berlanjut, setelah adanya pergantian presiden.
Lebih dalam, Nirwono mengingatkan bahwa pemindahan ibu kota tidak serta merta menghentikan pembangunan di Jakarta dan sekitarnya sebagai pusat ekonomi dan bisnis. Seperti rencana pada awalnya, yaitu pemindahan ibu kota dimaksudkan untuk mengurangi beban Jakarta dan sejumlah kota penyangga yang meliputi Bogor, Depok,Tangerang, dan Bekasi.
Dalam laporan, disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah se-Jaboodetabek tengah mematangkan proyek pembangunan infrastruktur yang diperkirakan membutuhkan biaya Rp 571 triliun untuk 10 tahun ke depan. Proyek infrastruktur itu mencakup lima bidang yakni transportasi, air bersih, air limbah, perumahan, dan pengendalian banjir. Dengan demikian pada 2030, Jabodetabek diharapkan bebas banjir, lalu lintas lancar, dan arus urbanisasi terdistribusi merata.
“Terakhir, pemerintah berupaya mendorong pemerataan pembangunan, terutama ke wilayah Indonesia bagian Timur dan mengubah pola pikir pembangunan Jawa sentris ke Indonesia sentris,” kata Nirwono.