Kamis 22 Aug 2019 18:40 WIB

Sukarno dan Keinginannya Menyatukan Papua dalam NKRI

Sukarno sudah mengetahui kekayaan alam di Papua.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Presiden Sukarno dan Ibu Hartini
Foto:

Cara Sukarno merebut Papua

Selain diplomasi, Sukarno dan Belanda sama-sama melakukan cara militer dalam memperebutkan Papua. Terbukti, bagaimana Indonesia harus kehilangan Pahlawan Yos Sudarso di Laut Arafuru.

Sementara dalam merebut hati masyarakat setempat, Sukarno memiliki cara sama pada umumnya. Dia menerapkan rasa keindonesiaan pada penduduk Papua. Pun, juga dilakukan terhadap masyarakat wilayah lainnya di Indonesia.

Pada awal Mei 1963, Sukarno sempat melakukan kunjungan pertama dan terakhirnya di Papua. Dia juga mengajak pihak lainnya termasuk Gubernur Aceh, Ali Hasjmy. Pada masa tersebut, Sukarno memperkenalkan Gubenur Aceh dan Gubernur Irian Barat, Elias Jan Bonay di hadapan masyarakat.

Selain itu, Sukarno pernah mengusulkan agar mahasiswa Uncen bisa belajar di Aceh. Begitu pula sebaliknya dalam program pertukaran mahasiswa. "Berikut lainnya mahasiswa dan kampus-kampus lain dari maupun ke Irian Barat," jelasnya.

Upaya-upaya ini yang sesungguhnya menjadi bagian proses keindonesiaan yang hendak diciptakan oleh Sukarno. Dia ingin para tunas mudanya memiliki pengalaman menjadi "manusia Indonesia". Namun ide-ide ini hilang setelah terjadi Gerakan Satu Oktober 1965. 

"Penganti Sukarno dan rezimnya berlaku sungguh berbeda memperlakukan Irian Barat," jelas pria yang pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tersebut.

Menilik perjuangan dan sikap Sukarno, maka akan banyak yang perlu dipelajari masyarakat dan pemerintah saat ini. Sentimen masalah Papua sepertinya belum terintegrasi dengan Sejarah Indonesia. Pandangan ini perlu didorong melalui penelitian lebih lanjut terkait awal nasionalisme Indonesia di tanah Papua.

Sisco mencontohkan bagaimana kisah di Manokwari dan Boven Digul harus dibuka secara jelas dalam Sejarah Indonesia. Pasalnya, wilayah tersebut dikenal sebagai tanah pengasingan kaum nasionalis kiri di masa pergerakan nasional. Sayangnya, pemerintahan orde baru seperti tidak ingin memberikan pembahasan lebih banyak ihwal para Digulis sekaligus Pahlawan Perintis Kemerdekaan tersebut.

"Padahal tidak sedikit mentor politik Pahlawan Nasional RI asal Papua seperti Frans Kaisiepo yang kini ada di uang kertas Rp 10.000 memiliki guru politik seorang Digulis. Juga, tidak ada museum yang proporsional di Digul, meski Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pernah diasingkan di sana," katanya.

Negeri yang mengklaim diri sebagai anti kiri dengan TAP MPR 1966 ini sepertinya ragu dalam menyikapi sejarah Digul. Tidak hanya itu, juga terhadap Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan sejarah Papua. Untuk itu, Sisco menyarankan, penelitian sejarah Papua Indonesia perlu dibuka. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement