Kamis 22 Aug 2019 13:20 WIB

Kontras Kritisi Pemblokiran Akses Internet Masyarakat Papua

Kontras menilai pemblokiran menunjukkan diskriminasi berlapis

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
 Koordinator KontraS Yati Andriyani memberikan keterangan pers di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (9/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Koordinator KontraS Yati Andriyani memberikan keterangan pers di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (9/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, mengkritisi pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat. Menurutnya, tindakan pemerintah melalui kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ini justru menunjukkan diskriminasi berlapis terhadap masyarakat di kedua provinsi. 

"Kami menyayangkan respons pemerintah dalam menanggapi perkembangan situasi di Papua (dan Papua Barat) dengan melakukan pelambatan (dan pemblokiran) akses internet. Kami menilai bahwa hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah," ujar Yati dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/8). 

Baca Juga

Selain melanggar hak masyarakat untuk mendapat hak atas informasi, tindakan ini pun melanggar hak masyarakat untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi sebagaimana di jamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Tindakan tersebut menunjukan bahwa negara tidak berimbang dan tidak proporsional dalam merespons persoalan yang berkembang di kedua provinsi.

"Cara tersebut, alih-alih membangun rasa percaya masyarakat atas langkah dan keberpihakan pemerintah pada rakyat di sana," tegas Yati. 

Sebaliknya, masyarakat setempat dikhawatirkan justru semakin merasakan adanya perlakuan diskriminatif yang berlapis. Sementara di lain pihak, kata dia, dugaan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya belum jelas penegakan hukumnya. 

Pun penyelesaian pelanggaran HAM belum tuntas, pemulihan  hak dan rencana penyelesaian persoalan Papua yang menyeluruh belum juga ditunjukkan oleh negara. "Mengapa yang keluar justru kebijakan pembatasan akses informasi. Kami menilai ini jauh dari penyelesaian," tuturnya.  

Semestinya, lanjut Yati, ketika pemerintah sudah meningkatkan pengamanan di Papua dan Papua Barat, akses informasi justru semakin dibuka seluas-luasnya untuk memastikan ada pengawasan publik secara terbuka. Pemblokiran akses internet justru semakin membuat pemerintah terkesan menghindari pengawasan dan transparansi dalam menangani situasi di Papua.

Sebelumnya, Kemenkominfo menampik jika pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat sebagai tindakan yang represif. Menurut Kemenkominfo, salah satu alasan pemblokiran karena lalu lintas informasi provokatif yang cukup tinggi selama beberapa hari terakhir.  

Pelaksana Tugas (Plt) Kabiro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu, mengatakan pemblokiran dilakukan untuk membantu agar situasi menjadi aman dan terkendali. "Kalau dikatakan represif tidaklah. Kita ingin negara kita aman terkendali. Di sana berdasarkan laporan aparat kita, sangat tidak kondusif beberapa hari terakhir ini.  Hampir beberapa kota ada aksi massa berujung kepada kerusuhan," ujar Ferdinandus ketika dihubungi Republika, Kamis.

Kemenkominfo melakukan pemblokiran total akses internet di Papua dan Papua Barat sejak Rabu (21/8). Masyarakat di kedua provinsi hanya bisa menggunakan sambungan telepon dan SMS untuk berkomunikasi jarak jauh.  

Pemblokiran ini, lanjut dia, dimulai sejak pukul 08.00 WIT dan dilakukan secara bertahap. Menurut dia, akibat pemblokiran ini masyarakat di kedua provinsi tidak bisa mengakses internet dan media sosial baik lewat telepon seluler maupun personal computer (PC) serta perangkat lain. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement