REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sejumlah mahasiswa asal Papua di Kota Semarang masih mengalami trauma untuk beraktivitas di kampus. Pasalnya, beberapa hari setelah peristiwa di Malang dan Surabaya, mereka di Semarang pun juga didatangi aparat.
“Mereka datang menanyakan KTP dan identitas lainnya serta menanyakan asal-usul para mahasiswa,” ungkap Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Semarang, Simon yang dikonfirmasi di Semarang, Rabu (20/8).
Menurutnya, jumlah mahasiswa asal Papua yang menuntut ilmu atau belajar di Kota Semarang mencapai sekitar 500 orang. Saat ini para mahasiswa yang beraktivitas di kampus memang tetap berjalan.
Namun beberapa di antaranya mengaku masih trauma. Karena setelah terjadinya insiden-insiden yang di berberapa daerah, mereka merasa keberadaannya ikut terus diawasi hingga merasa kurang bebas untuk beraktivitas.
“Sehingga secara psikologis, sejumlah mahasiswa Papua tertekan dan beberapa di antaranya masih ragu-ragu untuk kembali melakukan aktivitasnya, terutama jika bertemu dengan aparat,” jelas Simon, melalui sambungan telepon.
Simon mengatakan, tidak hanya asrama mahasiswa Papua saja yang terus diawasi dan didatangi aparat. Namun juga beberapa kontrakan warga Papua yang berada di sejumlah tempat yang ada di Kota Semarang.
Maka, masih jelas Simon, Aliansi Mahasiswa Papu Semarang meminta agar warga Papua diberikan kebebasan. Sehingga mereka bisa melakukan aktivitas dengan nyaman dan tidak merasa trauma.
Termasuk para mahasiswa yang akan berangkat untuk beraktivitas di kampus mereka. Sebab, --sejauh ini—persoalan tersebut yang masih dirasakan oleh mahasiswa Papua yang ada di Kota Semarang. “Kami minta, diberikan kebebasan sehingga bisa tetap beraktivitas tanpa merasa takut atau trauma seperti sebelumnya,” tambah Simon.