Rabu 21 Aug 2019 21:04 WIB

Aksi Rasialisme Meluas di Papua, Warga Memilih Diam di Rumah

Warga masih takut keluar rumah

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Karta Raharja Ucu
Warga melakukan aksi dengan pengawalan prajurut TNI di Bundaran Timika Indah, Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019). Aksi tersebut untuk menyikapi peristiwa yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.
Foto: Antara
Warga melakukan aksi dengan pengawalan prajurut TNI di Bundaran Timika Indah, Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019). Aksi tersebut untuk menyikapi peristiwa yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.

REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Aksi unjuk rasa menentang rasialisme meluas di berbagai wilayah di Papua dan Papua Barat. Sejak pagi, warga tempatan memilih berdiam di dalam rumah guna menghindari potensi kericuhan.

"Di sini orang jalan dari tadi pagi dari Taman Timika Indah ke kantor bupati," ujar Khuzumaetin, warga Apiri, Timika, kepada Republika, Rabu (21/8). Selepas itu, menurut dia, ratusan warga bergerak ke gedung DPRD tempatan dan melakukan pelemparan.

Baca Juga

Menurut Khuzumaetin, warga Timika sedianya beraktifitas dengan normal pada Rabu (21/8). Kendati demikian, pada pukul 09.00 WIT mulai terdengar kabar aksi akan dilakukan.

photo
Petugas kepolisian dan TNI melakukan pengamanan saat terjadi aksi protes di Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019).

Para karyawan juga dipulangkan. Sejak itu, anak-anak sekolah seluruhnya dipulangkan.

"Di depan rumah ini orang jual bensin juga langsung kasih masuk semua," ujarnya.

Hingga menjelang sore, aksi masih terus digelar. Warga pendatang maupun tempatan yang tak mengikuti aksi sejauh ini masih takut keluar rumah. "Katanya mereka ada lempar-lempar," kata Khuzumaetin.

Sebelum aksi kemarin, sempat dilakukan aksi menyalakan lilin yang berjalan dengan damai pada Selasa (20/8) malam. Aksi di Timika adalah yang pertama dilakukan di wilayah pegunungan Papua. Aksi-aksi sementara ini lebih banyak dilakukan di wilayah pesisir seperti Manokwari, Sorong, Jayapura, Fakfak, dan Biak Numfor.

photo
Warga membersihkan puing sisa kerusuhan di salah satu gedung yang terbakar di Manokwari, Papua Barat, Selasa (20/8/2019).

Sedangkan di Fakfak, Papua Barat, menurut warga tempatan Jumat Patipi, aksi juga berujung kericuhan. Massa sempat melakukan pembakaran di Pasar Fakfak.

"Sempat juga ada kasi naik bendera Bintang Kejora di Kantor Lembaga Adat Papua di Kota Baru," ujar dia.

Aksi pengibaran bendera tersebut kemudian dihentikan oleh sekelompok warga lain yang tergabung dalam Barisan Merah Putih. Massa aksi tandingan ini, kata Jumat Patipi, datang dari Wagom, Tanama, Pasir Putih, Kokas, dan sejumlah wilayah lain di Fakfak.

"Itu mereka datang bawa bendera Merah Putih terus kasi bubar aksi. (Warga pendatang) dari (Pulau) Seram juga ikut," kata dia.

photo
Warga melintas di samping bangkai mobil yang terbakar di Manokwari, Papua Barat, Selasa (20/8/2019).

Fakfak memang memiliki demografi agak berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Papua dan Papua Barat. Wilayah itu terbilang lebih dulu kedatangan penduduk dari Maluku dan Sulawesi ketimbang daerah lainnya di Tanah Papua.

Sementara di Biak Numfor, Papua, menurut Mulyati, warga Jalan Majapahit, aksi dipusatkan di Kantor Bupati Biak Numfor. Sejauh ini aksi di Biak berjalan dengan damai.

"Hanya suaranya saja yang ramai, terdengar sampai ke kantor," ujar pegawai Pengadilan Agama Biak Numfor tersebut.

Biak Numfor memiliki pengalaman pahit terkait aksi massa di masa lalu. Pada 1998, ratusan meninggal dalam aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di talang air tak jauh dari Pelabuhan Biak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement