Jumat 16 Aug 2019 07:35 WIB

Mengapa Pengusaha Soroti Rencana Kementerian Investasi?

Koordinasi antarlembaga terkait dinilai sejauh ini tidak berjalan dengan baik.

Ilustrasi Investasi
Foto: Mgrol101
Ilustrasi Investasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku bisnis meminta pemerintah terlebih dulu membenahi koordinasi dan birokrasi terkait investasi di Indonesia. Seruan itu menyusul rencana Presiden Joko Widodo membentuk kementerian tersendiri yang menangani investasi di Indonesia.

"Selama ini masalahnya di koordinasi. Jadi, itu harus dibenahi. Soalnya kalau ada kementerian baru, tapi koordinasi nggak efektif tetap saja tidak jalan," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani saat dihubungi Republika, Kamis (15/8).

Hariyadi melihat koordinasi antarlembaga terkait sejauh ini tidak berjalan dengan baik. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak saling mendukung satu sama lain.

Hariyadi menilai BKPM selama ini kurang mendapatkan dukungan dari kementerian dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah bahkan terkesan mengedepankan ego sendiri. Salah satu contohnya dalam hal perizinan.

Meskipun sudah mendapat perizinan dan persetujuan dari pusat, sering kali realisasi investasi tersendat di daerah. Mulai dari masalah tata ruang, ketersediaan lahan, hingga infrastruktur jadi penghambat investasi.

Menurut Hariyadi, realisasi investasi di daerah membutuhkan pengawalan yang ketat dari pusat. Selama ini, untuk sejumlah investasi yang bernilai cukup besar, realisasi investasinya cukup berhasil dengan pengawalan ketat dari pusat. "Namun, //kan// tidak semuanya punya tenaga yang kuat untuk itu. Makanya fungsi koordinasi itu yang harusnya diefektifkan," ujar Hariyadi.

Hariyadi mengemukakan, pihak yang paling berwenang untuk mengefektifkan fungsi koordinasi ini adalah Kementerian Koordinasi Perekonomian. Dengan diaktifkannya fungsi koordinasi, Hariyadi yakin permasalahan investasi ini bisa diatasi.

Sebelumnya, Presiden Jokowi memberi sinyal untuk melakukan inovasi nomenklatur kementerian dan lembaga dalam pemerintahan periode 2019-2024. Ia mengatakan akan menggabung kementerian-kementerian tertentu dan menambah kementerian baru yang dianggap memiliki peran penting. "Ada (perubahan nomenklatur). Ada yang digabung, ada yang baru," ujar Jokowi.

Penjelasan Jokowi ini melanjutkan pernyataannya dalam acara santap siang dirinya bersama para pimpinan media massa sebelumnya. Kementerian lama (bukan nomenklatur baru) disebutkan Jokowi akan dipimpin oleh sejumlah menteri berusia muda.

Kementerian baru yang digadang-gadang akan dibentuk adalah kementerian yang mengelola investasi. Ini diperlukan karena menurut Jokowi, problem neraca perdagangan yang selalu defisit itu disebabkan oleh dua faktor, yakni investasi dan ekspor.

Karena itu, selain bidang investasi, pihaknya pun berniat untuk menata kembali kewenangan pengelolaan ekspor dalam kabinet. Dia menyatakan, soal ekspor bisa saja ditangani oleh kementerian yang berbeda dari sekarang.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengkritisi rencana pembentukan kementerian yang khusus menangani investasi. Ketua BPP Hipmi Anggawira mengatakan, seretnya pertumbuhan investasi di Indonesia disebabkan persoalan birokrasi yang panjang. "Yang paling dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mata rantai birokrasi sebaiknya diperpendek," kata Anggawira kepada Republika, Kamis (15/8).

Menurut Anggawira, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan dari sisi tata kelola, bukan hanya kelembagaan. Pemerintah perlu menciptakan iklim yang baik untuk investasi, termasuk di industri ekonomi kreatif. Salah satu pendekatan tata kelola ini adalah dengan memperbaiki birokrasi.

Anggawira menilai pemerintah juga perlu mendorong kemunculan pengusaha-pengusaha baru melalui program pelatihan dan pendampingan. Menurut Anggawira, dukungan pemerintah terhadap pertumbuhan pengusaha-pengusaha baru hanya sebatas penurunan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR).

"Saya rasa program terkait kewirausahaan dan program meningkatkan kreativitas generasi muda seharusnya terkelola dengan interkoneksi yang baik. Sekarang terkesan masih parsial," kata Anggawira. Di samping itu, faktor lainnya yang menjadi kendala adalah lemahnya sinergitas antarkementerian. Anggawira melihat sejumlah kementerian berjalan saling bertubrukan. Artinya, kebijakan yang dihasilkan sering tidak mendukung satu sama lain.

Anggawira mencontohkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. "Kementerian Perdagangan dan Industri ini seharusnya digabungkan menjadi satu, supaya kebijakannya bisa selaras. Kalau sekarang memang cenderung adanya tabrakan-tabrakan," ujar Anggawira.

Untuk itu, lanjut dia, pemerintahan Presiden Joko Widodo selanjutnya diharapkan bisa membuat kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Termasuk dalam menyikapi persoalan investasi ini.

Di pihak lain, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi menilai ide Jokowi untuk merombak nomenklatur kabinet sudah tepat. Alasannya kementerian harus didesain efisien dan ramping, tapi tetap memiliki gugus fungsi yang jelas.

"Jadi, ini supaya pemerintah sendiri bisa mengoordinaaikan lebih baik lagi prioritasnya. Karena kebanyakan yang ngurus juga nggak efisien. Tadi banyak sekali departemen mengurus UKM. Tak efisien. Saya pikir rencana Jokowi harus kita dukung," ujar Sofjan setelah menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Jokowi di Istana Negara, Kamis (15/8).

Sofjan memprediksi, rencana Jokowi untuk merombak nomenklatur kementerian akan menyasar Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Ia melihat dua kementerian tersebut layak untuk digabung.

Sofjan juga mendukung ide Presiden memasukkan tugas baru Kementerian Luar Negeri untuk mengurusi ekspor yang saat ini masih ditangani Kementerian Perdagangan. "Terlalu banyak kerjanya, tapi tak koordinasi juga buat apa. Saya setuju, harus kita dukung. Dari dulu sudah kita usulan, tapi ya biasa. Ini ada kepentingan politik juga kan," kata Sofjan. n Retno Wulandhari, Sapto Andika Candraed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement