REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi - fraksi partai politik di Parlemen menyatakan perlunya kajian mendalam soal amandemen UUD 1945. Isu penerapan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan peletakan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Wacana itu seperti diketahui menimbulkan polemik.
Fraksi Gerindra menyoroti peletakan kembali posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mengarah pada pemilihan presiden secara langsung akan diganti oleh MPR. Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai, pilpres langsung memang sudah menjadi kesepakatan nasional.
Namun, pilpres melalui MPR menurutnya juga tetap bisa dipertimbangkan dan dibicarakan, mengingat MPR adalah representasi rakyat. "Nah, ini harus didudukkan. Kita harus ada kontemplasi supaya jangan hanya mengubah untuk kepentingan sesaat jangka pendek untuk kepentingan kelompok saja," kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen Ri, Kamis (15/8).
Fadli menekankan, bagaimanapun masa jabatan présiden tetap harus dibatasi. Ia menyebut, harus ada satu kesepakatan bila hendak dilakukan perubahan. Ia mengakui, UUD 1945 memang bisa diubah di mana telah terjadi empat kali amandemen dalam sejarah revisi UUD 1945.
"Kami termasuk yang berkepentingan naskah historis di kembali kan dulu ke aslinya, lalu ada adendum-adendum itu disertakan di dalam proses amandemen itu dulu," kata Fadli.
Terkait sistem pemilihan presiden dalam kerangka amandemen UUD 1945 ini, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, tidak serta merta yang selama ini dipilih langsung oleh rakyat langsung diganti dengan MPR. Pemilihan yang dilakukan selama ini harus dievaluasi terlebih dahulu.
"Nah ini tentu perlu dilakukan kajian yg mendalam saat ini mungkin terlalu dini untuk kita menyampaikan apa saja butir-butirnya yang perlu dilakukan," ujar Plate di Kompleks Parlemen RI, Kamis.
Ia menegaskan, perlu kajian-kajian yang komprehensif dan matang. Nasdem sendiri menunggu fraksi MPR 2019 - 2024 terbentuk untuk membahasnya. "Banyak waktu untuk membahasnya, yang pasti kalau itu dilakukan itu satu tujuannya agar penyelenggaraan rekutmen pemimpin megara pemimpin bangsa itu menjadi lebih baik," kata dia.
Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDIP Ahmad Basarah mengatakan, seluruh fraksi di parlemen telah menyetujui wacana amandemen. Bukan tanpa alasan, kesetujuan semua fraksi ini ditunjukkan dari dibentuknya panitia Ad-Hoc pada 16 Agustus 2018 lalu dalam sidang MPR. Basarah sendiri menjadi panitia ad-hoc itu.
"Jadi semua parpol yang ada perwakilan di parlemen, sudah sama-sama menyepakati agenda amandemen terbatas untuk menghadirkan GBHN itu," ujar Basarah.
Pembahasan mendalam soal amandemen terbatas itu, kata Basarah, akan dibahas kembali secara mendalam setelah sebelumnya kinerja panitia ad-hoc harus terhambat karena hajatan Pemilu 2019.
Basarah menyadari, kesepakatan amandemen terbatas UUD ini, bukan sekadar domain fraksi-fraksi di MPR. Sehingga, kata Basarah, diperlukan forum setingkat para ketum parpol dan presiden untuk duduk bersama menyepakati agenda amandemen terbatas ini.
"Kita masih dalam posisi menunggu pembicaraan pertemuan dan kesepakatam para ketum parpol ini bersama dengan presiden untuk sepakat atau tak sepakat tentang agenda amandemen UUD 45 ini," kata dia.
Anggota DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai, wacana amandemen terbatas UUD 1945 yang tengah bergulir harus benar-benar diperhatikan urgensinya. Ia menyebut amandemen terbatas seolah kotak pandora.
"Amandemen ini seperti membuka kotak pandora, sebelum menyiapkan mitigasinya, sebaiknya pikir ulang tentang amandemen karena ketika kotak pandora ini dibuka maka keluarlah semua evil (kejahatan), semua penumpang gelap, semua ide yang uncontrolable," kata Mardani saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Jakarta.
Mardani menyebut, kondisi sekarang ini adalah situasi yang tidak kondusif untuk mewacanakan amandemen terbatas. Pasalnya, kekuatan oposisi atau kekuatan penyeimbang tidak kuat. Mardani menilai, wacana amandemen baru tepat dalam pemerintahan yang kuat, didampingi oposisi yang kuat.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu juga khawatir penerapan kembali GBHN dengan peletakan MPR sebagai lembaga tertinggi akan bertentangan dengan kedaulatan rakyat berupa pemilu langsung, mengingat ide dipilihnya presiden melalui MPR kembali mencuat.
PKS masih mengkaji dan belum menentukan sikap soal wacana amandemen terbatas ini. Ia mengapresiasi pandangan Wapres Jusuf Kalla yang juga memberikan peringatan soal isu amandemen terbatas.
"Khawatir tidak, suudzon tidak, tapi background dan setting politik akan menentukan kualitas dari keputusan kita," ucap Mardani
Ketua Fraksi Golkar di MPR RI Agun Ginandjar mengatakan, penerapan kembali GBHN masih harus dilakukan pengkajian yang mendalam. Menurut dia, selama ini pembahasan GBHN masih belum utuh dan masih ada sudut pandang yang berbeda. Namun, Agun mengakui, GBHN memang diperlukan.
"Secara filosofis itu penting, tapi secara regulasi aturan masih harus kita kaji lagi, tidak bisa serta merta," ujar dia.
Sementara itu, lanjut Agun, mewujudkan penerapan GBHN itu harus melalui amandemen UUD 1945, di mana masih terjadi perbedaan pandangan soal amandemen tersebut. Maka, ia menegaskan, kajian mendalam tetap harus dilakukan.
"Jadi kalau ditanya (GBHN) dibutuhkan tidak, ya kalau kita mau kerjakan berarti dibutuhkan, kalau orang semangat untuk mengerjakan itu sudah dalam visi yang sama atau belum, ini menurut hemat saya harus kita bangun dulu," ujar Agun.
Sementara itu, Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding menilai, konsep penerapan GBHN itu sendiri harus dipikirkan secara matang dengan memperhatikan berbagai faktor. Bila nanti GBHN dipatok dan pemerintahan tak sesuai GBHN, maka harus ada pula implikasi konstitusinya. "Tapi kita setuju harus ada garis-garis besar patokan yang tidak boleh diganggu," kata Karding.
"Harus disepakati dulu, partai-partainya setuju dulu, kita sepakat amandemen misal soal GBHN, yang lain ngga, alasannya ini, itu juga harus dikaji teman-teman kampus NGO, tidak tiba-tiba amandemen, harus ada kesepakatan politik," kata dia menambahkan.
Bisa berdampak pada Pemilu 2024
Para ahli hukum tata negara mengkhawatirkan wacana amendemen terbatas UUD 1945 yang bisa berdampak kepada potensi terganggunya kontestasi dalam Pemilu 2024. Menurut mereka, ada potensi amandemen membuka jalan bagi pelaksanaan pilpres tidak langsung.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi menyayangkan jika gagasan amendemen UUD 1942 yang berlanjut kepada amandemen GBHN berakhir kepada proses pemilu tidak langsung. Gelagat ini tampak dari isu yang mengiringi dalam wacana amendemen UUD 1945, yakni mengembalikan fungsi MPR untuk memilih presiden.
Soal wacana pemilihan presiden secara tidak langsung dalam agenda terselubung amandemen konstitusi. Saya menganggap ada kekhawatiran mungkin sebagaian parpol kalau kemudian kondisi ini nanti dibiarkan terus-menerus posisinya pemilu secara langsung," ujar Veri kepada wartawan dalam diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).
Veri menilai, parpol sudah melihat ada ancaman bagi politik dinasti untuk elite politik tertentu. Parpol sadar bahwa pemilu secara langsung memberikan ruang munculnya tokoh-tokoh baru di luar kader atau elite mereka yang ternyata begitu diminati oleh masyarakat.
Kedua, parpol saat ini mulai menyadari fenomena Joko Widodo (Jokowi) yang terlihat 'susah diatur' elite politik. Bahkan, ada ketua parpol yang harus menyampaikan dalam ruang terbuka meminta calon menteri.
"Nah, ini menurut saya kalau misalnya Jokowi bisa diatur, tidak akan mungkin permintaan itu disampaikan diruang publik. Jadi ada keinginan untuk kemudian mengontrol presiden terpilih (lewat MPR dan GBHN)," kata Veri.
Untuk itu, jika amendemen ini jadi direalisasikan maka ada ancaman Pemilu 2024 tidak bisa digelar. Sebab, fungsi MPR memilih presiden sudah dikembalikan.
Veri menyebut kondisi ini melawan kehendak publik tentang pemilihan presiden secara langsung. Padahal, pada 2024 merupakan momen politik yang baik bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan tokoh politik baru yang berkontestasi dalam pilpres.
"Bukan lagi Ibu Megawati, Pak Prabowo, Pak SBY, atau Pak Jokowi. Hari ini banyak tokoh muda yang sangat potensial muncul di pilpres selanjutnya, kalau kemudian harus di tarik kembali proses politik kita menjadi proses tidak langsung menurut saya sangat disayangkan," ujar Veri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, pun menduga ada misi lain di balik wacana amendemen UUD 1945 ini. Dia melihat parpol merasa perlu mengontrol kepercayaan diri presiden terpilih.
"Karena selama ini presiden dipilih oleh rakyat, maka dia terlalu percaya diri. Parpol merasa perlu mementahkannya sehingga kepercayaan diri presiden harus dinegosiasikan dengan parpol. Maka perlu semangat amandemen UUD 1945 dan GBHN ini perlu ditarik ke belakang apa latar belakangnya," tutur Feri.