Senin 12 Aug 2019 23:58 WIB

Bawaslu: UU Pilkada Harus Direvisi

Ada sejumlah aturan dalam UU Pilkada yang sudah tak sejalan dengan UU Pemilu.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja (tengah)
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) harus direvisi. Bawaslu menilai peraturan itu perlu disesuaikan dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

"Mau tidak mau Undang-undang Pilkada itu harus direvisi," kata Bagja dalam diskusi di kawasan Jakarta Selatan, Senin (12/8).

Baca Juga

UU Pilkada yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menjadi Undang-Undang. Ia memaparkan, ada sejumlah aturan dalam UU Pilkada yang sudah tak sejalan dengan UU Pemilu.

Di antaranya terkait peran Bawaslu, dalam UU Pilkada tidak mengenal Bawaslu kabupaten/kota. Sebab, pengawasan di tingkat kabupaten/kota hanya dilakukan panitia pengawas (panwas).

Bagja melanjutkan, UU Pilkada juga tidak menjabarkan pihak yang menjadi koordinator Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Sedangkan dalam UU Pemilu ditegaskan yang menjadi koordinator Sentra Gakkumdu adalah Bawaslu.

Kemudian, kata Bagja, UU Pilkada mengatur penyeleseian sengketa administrasi dilakukan tertutup melalui mediasi yang menghasilkan putusan Bawaslu. Sedangkan UU Pemilu, proses sengketa administrasi dilakukan melalui proses ajudikasi yang dilakukan secara terbuka.

Bagja menuturkan, UU Pemilu sudah menjelaskan proses penanganan sengketa pemilu yang dilakukan secara in absentia atau tanpa kehadiran tersangka. Akan tetapi, aturan itu tidak dijabarkan dalam UU Pilkada.

Sehingga, menurut dia, tidak diaturnya penanganan perkara in absentia dalam UU Pilkada menimbulkan persoalan. Banyak perkara proses pemilu yang menjadi kedaluwarsa karena tersangka kabur saat perkara mamasuki proses persidangan.

Termasuk rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ingin melarang mantan narapidana korupsi maju dalam pemilu. Bagja mengatakan, pelarangan itu merupakan norma yang harus diatur Undang-undang bukan hanya peraturan KPU (PKPU).

"Dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam bentuk UU. (Pelarangan eks napi korupsi) bukan dalam bentuk peraturan lembaga, enggak bisa seperti itu, ini norma, norma itu diatur oleh UU," kata Bagja.

Bagja menambahkan, pemerintah dan DPR seharusnya bisa menyelesaikan revisi UU Pilkada dalam waktu dekat ini mengingat Pilkada serentak untuk 270 provinsi dan kabupaten/kota pada 2020. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), menurutnya, menjadi jalan keluar bagi perserteruan UU Pilkada ini.

"Kenapa Perppu? Kalau pemerintah menganggap hal ini adalah hal sangat krusial, membuat kegentingan yang memaksa, dan menurut kami itu kegentingan memaksa, maka mau tidak mau harus melalui Perppu," imbuh Bagja.

Sementara itu, di kesempatan yang berbeda, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah tengah mengkaji masukan dari sejumlah partai politik dan pengamat. Hal itu terkait usulan pemerintah seandainya akan merevisi UU Pilkada dan UU Pemilu.

Revisi UU Pilkada dan UU Pemilu dipertimbangkan karena beberapa masukan terhadap penyelenggaraan pemilu baik pilkada, pemilihan legislatif (pileg), maupun pemilihan presiden (pilpres). Salah satunya waktu pelaksanaan pileg dan pilpres yang kemungkinan diselenggarakan berbeda.

"Misalnya kalau UU Pilkada tetap di tahun 2020-2024 apakah pemilihan legislatif dan pemilihan presiden itu bisa dibagi dua. Pileg sendiri, pilpres sendiri," kata Tjahjo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement