REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum telematika Universitas Indonesia (UI) Edmon Makarim menegaskan kebutuhan UU Keamanan dan Ketahanan Siber bagi Indonesia sudah emergency atau darurat.
"Sepanjang saya telusuri dinamika nasional sejak setelah reformasi sampai saat ini, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber bukan lagi urgency, tetapi kondisinya agak emergency," katanya saat diskusi publik dan simposium RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang digelar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), di Jakarta, Senin (12/8)
Semua alat dan perangkat yang terhubung dengan internet, kata Dekan Fakultas Hukum UI itu, memiliki kelemahan dalam sistem keamanannya. "Kemudian kerawanan ini belum terpetakan baik. Semua instansi yang ada mempunyai keterbatasan kewenangan berdasarkan UU-nya," ujarnya.
Keberadaan UU Keamanan dan Ketahanan Siber nantinya, kata dia, bisa menjadi solusi pemadu semuanya seiring dinamika hukum di Indonesia yang terus berkembang. "Perlu sinkronisasi dan harmonisasi kembali. Apa kondisi kewenangan yang kemungkinan kosong, bisa diisi BSSN. Intinya, adalah optimalisasi dari kewenangan yang ada," tuturnya.
Selain itu, Edmon mengatakan seandainya terjadi permasalahan, seperti serangan siber, maka akan ada lembaga sentral yang mengolaborasi pemulihan kondisinya kembali.
Sementara itu, Kepala BSSN Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian mengingatkan pentingnya kesadaran dan kewaspadaan terhadap potensi serangan siber (cyber awareness). Tanpa kesadaran siber, kata dia, tidak mungkin bisa mewujudkan ketahanan siber sehingga keberadaan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber sangat diperlukan.
Saat ini, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang diinsiasi DPR telah diserahkan kepada pemerintah, dan dibutuhkan keseriusan semua pihak untuk bisa segera mengesahkan RUU tersebut.