Jumat 09 Aug 2019 18:27 WIB

Komnas HAM: Ujaran Kebencian Bukan Kebebasan Berpendapat

Ada batasan yang membedakan antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat.

Poster kampanye dukungantop Hoak, Black Campaign, Hate Speech. dalam deklarasi pilkada 2018  dan 2019  damai di  kawasan Bundaran HI, Jakarta, (25/3).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Poster kampanye dukungantop Hoak, Black Campaign, Hate Speech. dalam deklarasi pilkada 2018 dan 2019 damai di kawasan Bundaran HI, Jakarta, (25/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin mengatakan, ujaran kebencian tidak termasuk dalam ranah kebebasan berpendapat. Menurutnya, terdapat batasan-batasan yang dapat membedakan antara kedua hal tersebut.

"Ujaran kebencian ya ujaran kebencian. Kebebasan pendapat diungkapkan secara nalar, dan bisa dipertanggungjawabkan. Kebebasan berpendapat itu dibatasi oleh kebebasan berpendapat orang lain, hakmu dibatasi oleh orang lain," kata dia usai diskusi media di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/8).

Baca Juga

Ujaran kebencian, lanjutnya, adalah bagaimana seseorang atau kelompok menyerang personal atau agama suatu kelompok dan dapat mengancam demokrasi dan HAM. Menurut Amir, batasan-batasan antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat dapat dilihat dari apakah ucapan tersebut mengandung unsur mengancam seseorang atau golongan tertentu, dan apakah ucapan tersebut juga mengandung unsur kekerasan.

"Kita bisa lihat apakah dalam 'pendapat' itu terdapat unsur violence-nya. Jika iya, maka itu tidak bisa dikategorikan kebebasan berpendapat, itu adalah ujaran kebencian," paparnya.

Amir kemudian mengatakan, bahwa masalah ujaran kebencian ini merupakan permasalahan global. Menurutnya, salah satu penyebab masif dan cepatnya penyebaran ujaran kebencian adalah karena pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Kini, semua orang dengan gawainya bisa dengan mudah dan cepat membuat opini tertentu tanpa harus pergi ke sasarannya. Amir berpendapat, bahwa penting bagi tiap negara termasuk Indonesia untuk dapat mengimbangi cepatnya laju teknologi komunikasi ini.

"Tantangannya adalah bagaimana perangkat demokrasi kita menyusuaikan dan mengimbangi moda komunikasi, sehingga imbang dan tidak tertinggal, agar instrumen demokrasi kita tidak kepayahan dalam hal ini," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement