Senin 05 Aug 2019 05:40 WIB

Residu Politik Umat

Proses Pilpres 2019 dan pemilu sudah selesai dan agenda penting menanti umat Islam

Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti
Foto: darmawan / republika
Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seluruh rangkaian Pemilu 2019 sudah selesai. Presiden dan wakil presiden sudah ditetapkan dan tinggal menunggu pelantikan. Masih ada sengketa pemilihan anggota legislatif yang harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, semua masalah terkait kursi legislatif di semua tingkatan sudah tinggal ketuk palu.

Sekarang ini para elite politik mulai sibuk berbagi “fai” dan “ganimah” serta asabah hasil pemilu. Banyak yang kasak-kusuk untuk duduk di kursi menteri, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Ada yang terbuka meminta jatah menteri, ada pula yang basa-basi. Sayup-sayup terdengar ada deal jabatan ketua DPR, DPD, dan MPR.

Residu politik

Di level elite, pemilu sudah benar-benar selesai. Semuanya sepertinya sudah clear and clean. Namun, di akar rumput, kalangan alit, sisa-sisa pemilu masih belum sepenuhnya sirna. Sebagian masyarakat masih ada yang belum atau tidak mau move on. Mereka menolak hasil pemilu, khususnya pemilihan presiden.

Meskipun keputusan MK sudah final, kelompok ini menilai sidang MK hanya sandiwara. MK sebagaimana KPU dan Bawaslu dianggap sebagai bagian dari pilpres yang dilaksanakan dengan penuh kecurangan masif, terstruktur, dan sistematis.

Secara de jure, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sudah resmi menjadi presiden. Namun, secara de facto, sebagian die hard pasangan Prabowo-Sandi masih belum bisa mengakui. Sebagian sudah tegas memilih menjadi oposisi. Sebagian lainnya masih bermimpi ada keajaiban, pemilu dibatalkan dan dilakukan pemilihan ulang.

Kelompok kedua mengalami kekecewaan ganda. Pertama, kecewa dengan kekalahan Prabowo-Sandi. Selain itu, mereka juga kecewa dengan Prabowo yang dianggap mengambil langkah sendiri bertemu Jokowi dan Megawati. Sebagian mereka bahkan berpendapat Prabowo telah berkhianat. Jumlah mereka tidak seberapa.

Namun, perilaku yang outspoken banyak menarik dan mendapat peliputan media. Di media sosial masih beredar disinformasi dan ujaran kebencian kepada Jokowi. Beredar khurafat yang mengaitkan bencana alam--khususnya gempa bumi--dengan kecurangan pilpres.

Dalam politik, menolak hasil pemilu merupakan hal yang biasa. Oposisi konstruktif terhadap pemerintah bukanlah hal yang tabu. Namun, penolakan itu menjadi tidak lazim dan bermasalah karena mengatasnamakan ulama dan umat. Dalam hubungannya dengan gerakan Islam dan relasi antara Islam dan negara, sikap dan perilaku kelompok ini kontraproduktif dan memiliki akibat negatif dalam kehidupan umat.

Pertama, potensi memecah belah umat Islam. Mereka sengaja menciptakan firkah-firkah dalam tubuh umat dengan memelihara dan memperluas polarisasi politik Pemilu 2019. Psikologi pemenang dan pecundang berkembang. Euforia mereka yang menang membuat pecundang meradang. Beberapa masalah yang selama ini idle dibuka kembali. Realitas ini seakan menjadi babak baru, perpanjangan waktu, persaingan politik pascapemilu.

Kedua, perlawanan yang keras terhadap pemerintah menimbulkan persepsi umat Islam sebagai kelompok anti-NKRI dan Pancasila. Bagi sebagian kalangan, pernyataan NKRI bersyariah yang disuarakan FPI merupakan bukti nyata ancaman terhadap kedaulatan negara. Penilaian semakin kuat ketika secara politik, kelompok-kelompok yang dinilai radikal berada di barisan Prabowo-Sandi. Umat masih terbelah dan seakan tidak peduli dengan imbauan Presiden Jokowi bahwa sudah tidak ada lagi 01 dan 02 tetapi 03, yaitu Persatuan Indonesia.

Ketiga, residu politik juga bisa menyeret umat dalam konfrontasi politik-kekuasaan. Energi umat terkuras dalam berbagai aktivisme politik jalanan. Kehirauan umat terdapat politik begitu tinggi. Instrumentalisasi agama sebagai identitas dan gerakan politik tampaknya akan terus terjadi. Jika pemerintah tidak tepat melangkah dan kinerja pemerintahan tidak lebih baik dari sebelumnya, lima tahun mendatang akan menjadi episode yang penuh ketegangan yang melelahkan.

Walaupun kecil, eksistensi dan aksi kelompok ini bisa menjadi batu kerikil yang menghambat perjalanan, bahkan bisa menjadi batu ginjal yang merusak kesehatan. Residu politik masih belum sepenuhnya sirna dan berpotensi menjadi faktor liabilitas umat. Ulama seakan terbelah dalam dua institusi; Ijtima Ulama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perlahan namun pasti, beberapa aksi ad hoc yang semula bersifat sporadis mulai menjadi lembaga tersendiri.

Salah satunya adalah kelompok 212. Aksi demonstrasi Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI pada 4 November (411) dan 2 Desember (212) berkembang menjadi organisasi. Selain Persatuan Alumni (PA) di beberapa daerah juga berdiri waralaba 212. Bersama-sama dengan beberapa gerakan lainnya, PA 212 dan Ijtima Ulama yang lahir dari rahim Pilkada Jakarta dan Pilpres 2019 bertumbuh menjadi kelompok emerging Islam yang menjadi “penyeimbang” established Islam.

Agenda bersama

Pluralitas politik dan gerakan adalah hal yang tidak terhindarkan. Namun, pluralitas yang terpolarisasi dalam kutub-kutub politik aliran dan libido kekuasaan tidak boleh diabaikan. Tidak hanya umat yang terbelah, tetapi bangsa juga bisa pecah.

Sampai saat ini Indonesia mampu mengatasi berbagai ketegangan dan gelombang politik dengan baik. Selalu ada solusi kultural sehingga gelombang pasang demokrasi tidak menjelma badai. Indonesia bukanlah Mesir yang pecah setelah pesta demokrasi. Indonesia--terbukti--selamat dari masalah “balkanisasi”. Namun, jika umat Islam tidak solid, ancaman disintegrasi bukanlah ilusi.

Umat Islam perlu mulai berbicara dari hati ke hati membahas agenda bersama. Pertama, para pemimpin umat sudah harus memulai konsolidasi dan akselerasi gerakan ekonomi. Bidang ini sangat mendesak untuk diselesaikan.

Kemiskinan yang disebabkan oleh proses pemiskinan konstitusional, intelektual, dan mental menuntut penyelesaian bersama dengan sepenuh jiwa. Alih-alih diselesaikan, masalah kemiskinan sering kali justru dieksploitasi untuk komoditas politik dan instrumen kekuasaan. Ruang publik penuh retorika dan wacana tetapi sepi aksi nyata.

Kedua, masalah sumber daya manusia. Daya saing dan daya sanding umat begitu lemah. Ada masalah serius dalam tubuh umat, yaitu bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam sangat melimpah, tetapi kualitasnya seperti limbah. Perlu revolusi manajerial dan kerja sama lintas ormas. Sekarang waktunya membangun korporasi dan kolaborasi.

Ketiga, memperkuat gerakan masyarakat madani. Demokrasi liberal telah mengisap energi umat ke ranah politik praktis. Sumber dana dan sumber daya terkuras ke dalam pusaran politik partisan, mulai dari pemilihan bupati/wali kota, gubernur, presiden, dan legislatif. Perlu ada pembagian peran dan posisi agar tidak terjadi kerancuan fungsi.

Politisasi agama sudah sangat jauh sehingga umat seakan tidak lagi memiliki “ayah”, orang tua yang menjadi tempat bertanya. Umat tidak memiliki “rumah” karena masjid sudah tidak bisa lagi menjadi rumah bersama akibat kooptasi dai yang ekslusif dan merasa benar sendiri.

Keempat, perlu gerakan politik kebangsaan untuk memperbaiki sistem politik, terutama sistem pemilu. Sistem proporsional terbuka yang berlaku dalam dua kali pemilu (2014 dan 2019) lebih banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaat bagi umat dan bangsa. Sistem proporsional terbuka tidak hanya merusak moral, tetapi juga mematikan sistem meritokrasi dan bertentangan dengan spirit dan nilai demokrasi.

Selain itu, umat juga perlu bersungguh-sungguh menyiapkan kader politik yang tangguh. Para pemimpin umat perlu lebih intensif melakukan komunikasi politik dengan para pemimpin partai politik sebagai langkah awal delegasi dan distribusi kader dalam berbagai partai. Strategi konsentrasi politik umat dalam partai politik tertentu perlu dievaluasi.

Umat Islam adalah komunitas terbesar bangsa Indonesia. Perilaku dan mutu umat adalah salah satu penentu utama kemajuan bangsa. Pemilu sudah usai saat semua pertikaian lerai. Residu politik sudah harus dilebur agar umat tidak hancur dan Indonesia berkembang menjadi negeri yang maju, adil, dan makmur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement