Jumat 02 Aug 2019 05:55 WIB

Gedong Duwur, Cagar Budaya Indramayu yang Terlupakan

Gedong Duwur dibangun pada 1901 dan semula digunakan sebagai kantor asisten residen.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Yudha Manggala P Putra
Gedong Duwur di Jalan Mayor Dasuki Desa Penganjang, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Foto: Republika/Lilis Handayani
Gedong Duwur di Jalan Mayor Dasuki Desa Penganjang, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, SINDANG -- Gedong Duwur yang terletak di Jalan Mayor Dasuki Desa Penganjang, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, tampak berdiri megah, Kamis (1/8). Sesuai namanya, duwur dalam bahasa Indramayu artinya tinggi, bangunan tersebut memang lebih tinggi dibandingkan bangunan lain di sekitarnya.

Dengan arsitektur bergaya Eropa gotik abad ke-17, Gedong Duwur memiliki tiang-tiang penyangga utama berukuran besar. Bangunan yang dibangun pada 1901 itu semula digunakan sebagai kantor asisten residen di masa penjajahan Belanda.

Ia merupakan salah satu bangunan cagar budaya nasional, resmi ditetapkan melalui SK Menteri No PM.58/PW.007/MKP/2010. Karenanya, struktur gedung itu masih sama dengan bentuk aslinya. Begitu pula dengan lantainya yang terbuat dari tegel dan jendela serta pintu dari kayu jati yang berukuran besar.

Sayang, cat bagian depan bangunan tersebut kini telah diganti menjadi oranye dari aslinya yang berwarna putih. Bangunan tersebut kini digunakan untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lavender Kencana.

photo
Tampak depan. Gedong Duwur di Jalan Mayor Dasuki Desa Penganjang, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Meski dari depan terlihat megah, kondisi sebaliknya terlihat di bagian belakang gedung. Bagian dinding belakang yang terbuat dari pagar bilik bambu, nampak berlubang dan rusak parah. Cat warna putih yang merupakan warna aslinya terlihat sangat kusam. Kayu-kayu penyangganya pun sudah lapuk. Begitu pula kondisi lantainya.

Hanya beberapa meter dari Gedong Duwur, nampak bekas kantor KNIL dan deretan rumah yang dulunya juga merupakan asrama KNIL saat agresi militer Belanda ke-1. Bangunan asrama tua itupun masih asli seperti bentuk aslinya. Saat ini, asrama tersebut ditempati sejumlah anggota TNI.

Asrama itupun berdekatan lokasinya dengan makam Belanda (Kerkoff). Namun, dari 50 makam, kini tersisa sekitar tujuh makam dengan kondisi tidak terawat. Makam lainnya, telah dipindahkan pihak keluarga.

Tak hanya itu, sebuah batu nisan dari pemakaman tersebut, sudah berubah fungsi menjadi penutup septik tank. Batu nisan dari bahan marmer itu bertuliskan nama Martinus Azon Cornelis, lahir 23 Desember 1860 dan meninggal pada Juni 1916.

Masih di area yang berdekatan, ada juga bekas penjara di zaman Belanda. Namun, kini sudah terhalang oleh kandang ayam.

‘’Kami berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap cagar budaya di Indramayu agar tetap terpelihara dengan baik,’’ ujar Plt Kasi Permuseuman dan Kepurbakalaan (Muskala) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Indramayu, Suparto Agus Tinus, saat ditemui di Gedong Duwur, Kamis (1/8).

photo
Tampak belakang. Gedong Duwur di Jalan Mayor Dasuki Desa Penganjang, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Tinus menyebutkan, ada 218 cagar budaya di Kabupaten Indramayu yang telah diinventarisir melalui SK Bupati Indramayu Nomor 432.1/Kep.93.4-Disparbud/2018 tentang Penetapan Inventarisir Benda, Struktur, Bangunan dan/atau Situs Cagar Budaya. Dari ratusan cagar budaya itu, sebagian besar berupa bangunan, sisanya benda cagar budaya.

‘’Hampir semuanya dalam kondisi memprihatinkan,’’ kata Tinus.

Tak hanya kondisinya tidak terawat, lanjut Tinus, tak sedikit bangunan cagar budaya di Indramayu juga yang telah beralih fungsi dan berubah bentuk. Hal itu akibat ketidakpahaman pihak yang melakukan renovasi cagar budaya tersebut.

Tinus menjelaskan, cagar budaya di Indramayu itu merupakan peninggalan dari periode Islam, Cina, kolonial Belanda hingga kemerdekaan. Jika terpelihara, maka bisa mengungkap sejarah lebih dalam tentang Indramayu.

Tinus mengungkapkan, SK bupati yang menginventarisir cagar budaya merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap cagar budaya yang ada. Meski dia mengakui, hingga kini belum ada rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

‘’Indramayu hingga kini belum memiliki tim ahli cagar budaya. Inilah kelemahan kita,’’ ungkap Tinus.

Kelemahan lainnya adalah minimnya anggaran untuk pemeliharaan cagar budaya di Indramayu. Besarannya hanya Rp 500 juta per tahun. Dari jumlah itu, sebesar Rp 485 juta untuk honor juru pelihara cagar budaya.

‘’Itupun belum mencakup semua juru pelihara di 218 cagar budaya. Apalagi untuk pemeliharaan cagar budayanya,’’ kata Tinus.

Tinus menambahkan, upaya lain untuk melindungi cagar budaya di Indramayu adalah dengan mendaftarkan registrasi cagar budaya ke Kemendikbud. Namun, dari 218 cagar budaya, baru 150 yang didaftarkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement