REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI dikhawatirkan memiliki peran tumpang tindih dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dalam pemberantasan terorisme. Oleh karena itu, perlu ada pembagian wewenang yang jelas dalam pembatasan tugas.
Pengamat Terorisme dan Intelijen Harits Abu Ulya menilai, selama ini proyek kontra terorisme telah menjadi domain Densus 88 dan BNPT. Maka, adanya adanya Koopsus TNI berpotensi menyebabkan tumpang tindih kepentingan jika tidak ada koordinasi yang solid.
"Teroris jenis apa yang harus ditangani Polri dan teroris jenis apa yang harus di tangani unsur TNI dengan organisasi barunya plus kewenangan khususnya. Ini harus clear," kata Harits dalam keterangannya, Rabu (31/7).
Proyek kontra terorisme di Indonesia institusi pelaksananya sudah dilembagakan Densus 88 dan BNPT dalam lingkup kerja surveillance dan intelijen yang porsinya juga besar, di samping penindakan hukum. .
Maka itu, menurut Harits, harus ada mekanisme teknis yang jelas agar implentasi di lapangan tidak kontraproduktif. Peran Koopsus TNI harus diperjelas, apakah menunggu order dari pihak Polri ataukah menunggu permintaan Presiden untuk bergerak.
"Aturan main harus jelas, misalkan parameternya seperti apa yang mengharuskan Koopsus harus terjun tangani terorisme," ujar Harits.
Pembentukan Koopsus sendiri bersentuhan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 yang menyebutkan, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman , dan pelayanan kepada masyarakat dengan rincian disebut pada pasal selanjutnya adalah tugas pokok Polri.
Meskipun, Undang-undang nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga memuat kewenangan TNI terkait kontraterorisme, namun dalam UU tersebut juga mengamanatkan lembaga kontrol yang independen dibentuk oelh parlemen.
"Dan sampai saat ini amanah tersebut juga tidak terealisir. Akan menjadi tantangan baru, dengan ada unit baru juga punya kewenangan kontra terorisme dari unsur TNI ini juga perlu kontrol agar tidak abuse of power," kata Harits.
Tanpa ada kontrol, maka langkah kontraterorisme sangat berpotensi terjadi pelanggaran HAM. Sebagai contoh, kata Harits, publik belum pernah di sodorkan transparasi anggaran, dan aspek akuntanbilitas dari institusi yang sudah ada dengan proyek kontra terorisme.
Di samping itu, Harits menekankan, keberadaan organisasi baru di lingkungan TNI harus betul-betul tepat guna. Jika tidak maka akan terkesan ini hanya menjadi jalan pintas salah satu problem internal TNI yaitu penumpukan para perwira yang non job.
"Dan jangan lupa, dengan adanya organisasi baru akan menambah nomenklatur anggaran baru, dan semua itu adalah uang rakyat dan negara menjadi sumber utamanya. Tentu ini beban baru bagi APBN," ujar Harits menambahkan.