Senin 29 Jul 2019 12:40 WIB

Penyeragaman Pangan di Indonesia Disayangkan Terjadi

Keragaman sumber pangan Indonesia tertinggi di dunia setelah Brazil.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Sorgum
Foto: Republika/Desy Susilawati
Sorgum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan KEHATI menyayangkan penyeragaman pangan di Indonesia. KEHATI berupaya mendorong kedaulatan pangan melalui keberagaman hayati.

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos mengungkapkan terjadinya kerentanan pangan akibat penyeragaman pangan baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Ia mendorong keberagaman pangan tak hanya bergantung pada beras saja.

Baca Juga

"Ini kunci pembangunan sumber daya manusia yang unggul ke depannya. Kebijakan keseragaman pangan dengan berasisasi sejak orde baru menjadikan sumber pangan Nusantara lain terpinggirkan," katanya dalam talk show yang diadakan KEHATI di Perpusnas pada Senin, (29/7).

Dalam talk show itu dipaparkan video  soal masalah penyeragaman pangan dengan beras di Nusa Tenggara Timur (NTT). Padahal beras sulit ditanam di NTT karena terbatasnya air dan panasnya cuaca di sana.

 

KEHATI lalu berusaha mengembalikan konsumsi sorgum di NTT. Sebab sorgum merupakan pangan lokal yang sudah dikonsumsi sejak lama. Sorgum pun tahan dengan teriknya matahari dan minimnya sumber air.

"Dengan kekayaan keanekaragaman potensi pangan di Indonesia maka kebijakan untuk meninggalkan beras dan menyambut berbagai kearifan lokal masyarakat akan mendorong perbaikan gizi," ucapnya.

Riki menyebut KEHATI punya tiga program guna mencapai tujuan tersebut yaitu melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan keanegaragaman pangan yang saling terkait satu lain. Dalam perkembangannya, KEHATI menggunakan pendekatan ekosistem yang fokus pada Pangan, Energi, Kesehatan dan Air (PEKA).

"Di mana PEKA menyasar ekosistem penopang sebagian besar kehidupan masyarakat," ujarnya.

Badan Ketahanan Pangan mendata Indonesia punya 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat. Keragaman sumber pangan ini merupakan tertinggi di dunia setelah Brazil.

"Menumpukkan kebutuhan pangan nasional hanya pada beras jelas berisiko. Selain karena tidak semua lahan cocok untuk tanaman padi, perubahan iklim merupakan ancaman tersendiri bagi produktivitas sawah," jelas Riki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement