REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pelecehan seksual tidak hanya berbentuk sentuhan fisik antara korban dan pelaku. Bahkan, bersiul untuk menggoda lawan jenis pun masuk dalam kategori tersebut.
Co-Director Hollaback! Jakarta, yang merupakan gerakan global melawan pelecehan sesual, Anindya Restuviani, mengatakan, bersiul termasuk dalam pelecehan seksual secara verbal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selain siulan dari orang asing, candaan berbau seksual dari teman pun masuk dalam kategori ini.
Tak jarang, korban acap dinilai terlalu berlebihan apabila menolak candaan tersebut. Menurut dia, candaan berbau seksual dapat masuk menjadi pelecehan apabila terdapat respons negatif dari korban.
Dalam hal ini, korban merasa tidak ingin mendengar candaan tersebut sekalipun dari rekan dekatnya. "Lalu bagaimana menanggapinya?" kata perempuan yang disapa Vivi ini dalam kegiatan diskusi bersama Gojek di 5 Lounge and Terrace, Kota Malang, Kamis (25/7).
Vivi menilai, cara menanggapi pelecehan seksual verbal sesungguhnya tidak ada benar dan salah. Sebab, kata dia, respons atau tanggapan bukan tanggung jawab korban, melainkan kepada mereka yang menyaksikan aksi tersebut.
"Ya sama saja membebankan kesalahan pada korban. Kalau dia takut, kaget dan trauma bagaimana? Kalau enggak respons, ya tidak salah. Itu semua kembali kepada mereka yang menjadi tanggung jawab itu saksi untuk mengintervensi," tegas Vivi.
Vivi teringat cerita bagaimana pengemudi Gojek di Palembang dalam menghadapi pelecehan seksual verbal. Mitra ini biasanya "mangkal" di depan salah satu SMA bersama ojek online maupun konvensional.
Setiap jadwal SMA tersebut pulang, hampir sebagian besar ojek menggoda siswi yang melewati mereka. "Contohnya, 'mau ke mana dek?' Dan si bapak ini meresponsnya, 'Jangan gitu! Itu keponakanku'. Dia setiap hari bilang gitu setiap ada ojek yang menggoda siswi yang lewat," katanya.
Karena hampir sebagian besar siswi dianggap keponakan, muncul pertanyaan dari rekan kerjanya. Sampai akhirnya, driver Gojek tersebut pun memberikan jawaban yang luar biasa. "Dia bilang 'bedanya apa kalau dia bukan keponakanku?'," kenang Vivi.
Dari sini, Vivi pun menegaskan bahwa sesungguhnya pelecehan seksual verbal itu menjadi tugas orang yang melihatnya. Dengan kata lain, bukan tanggung jawab si korban pelecehan lagi.
Vivi juga mengingatkan kekerasan atau pelecehan seksual sesungguhnya memiliki berbagai jenis. Beberapa di antaranya berbentuk fisik, verbal, mental, digital dan sebagainya.
Pelecehan seksual digital, kata dia, biasanya terjadi dalam dunia media sosial (medsos). Contohnya, seseorang mengirim foto perempuan di jalan tanpa sepengetahuan korban. "Atau mengancam pacar kalau diputusin, fotonya disebar ke medsos sehingga mengakibatkan kimenta dan hinaan," kata dia.
Pada kesempatan itu, Kanit PPA Polres Kota Malang Iptu Tri Nawang Sari mengungkapkan, kejadian pelecehan seksual pada orang dewasa maupun anak sesungguhnya banyak terjadi di masyarakat. Namun, hanya sedikit yang terkuak ke publik karena keberanian korban maupun keluarganya.
"Sebenarnya banyak kejadiannya, tapi enggak mau lapor seperti karena malu, takut di-bully teman dan sebagainya," kata Nawang.
Nawang juga menjelaskan pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan tapi juga laki-laki. Hal ini terbukti di mana seorang anak laki-laki pernah menjadi korban pencabulan di Sukun, Kota Malang, pada 2018.