Selasa 23 Jul 2019 13:09 WIB

Tingkat Deforestasi Pengaruhi Malaria di Tiga Provinsi

Rate malaria positif akan meningkat tiap tahunnya per 1 persen deforestasi.

Penyusutan luas hutan akibat penggundulan dan konversi. (ilustrasi)
Penyusutan luas hutan akibat penggundulan dan konversi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam 25 tahun terakhir, sejumlah lahan hutan di Indonesia telah dibuka dan dikonversi menjadi jenis hutan tanaman dan jenis tutupan lainnya. Pembukaan dan penggunaan lahan baru dari hutan berpotensi meningkatkan penyakit menular pada manusia dan menurunnya nilai ekosistem serta berdampak pada kerugian ekonomi.

Mempertimbangkan hal tersebut, Indonesia One Health University Network (INDOHUN) bersama dengan University of Minnesota dan Ecohealth Alliance melaksanakan sebuah penelitian berjudul Disease Emergence and Economic Evaluation of Altered Landscapes atau disebut dengan DEAL yang didanai oleh investasi USAID terhadap kehutanan dan keanekaragaman hayati.

Penelitian DEAL ini dilakukan di tiga provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Timur, dan Papua Barat dengan tujuan untuk menganalisis bagaimana perubahan lahan terutama hutan berkontribusi terhadap malaria serta dampak ekonomi yang ditimbulkan. Penelitian ini menemukan bahwa perubahan penggunaan lahan hutan berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus malaria serta dapat menimbulkan dampak kerugian ekonomi.

"Meskipun secara luas dipahami bahwa persentase penyakit yang muncul pada manusia yang berasal dari hewan memiliki angka yang signifikan dan bahwa perubahan pemanfaatan lahan berpotensi menjadi faktor pendorong terbesar yang berkontribusi terhadap meningkatnya risiko munculnya penyakit, pemahaman kita bersama tentang peran pemanfaatan lahan secara tepat dalam proses ini dan apa yang harus dilakukan - masih terbatas," kata Tim Meinke, Senior Infectious Diseases Advisor, USAID Indonesia.

"Amerika Serikat  bangga bisa memfasilitasi kolaborasi penelitian multisektor ini, dan kami percaya bahwa DEAL akan memberikan gagasan awal tentang keterkaitan antara pemanfaatan lahan, kesehatan, dan ekonomi, dan pada saat yang sama membantu memberikan masukan untuk dialog, penelitian, dan kebijakan di masa yang akan datang terkait berbagai permasalahan ini," tambahnya.

Prof. Wiku Adisasmito, DVM, M.Sc, PhD selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang juga selaku principal investigator proyek penelitian DEAL menambahkan saat ini penelitian yang  menganalisis dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap kesehatan dan beban ekonomi dari dampak kesehatan tersebut masih sangat terbatas di Indonesia.

"Penelitian DEAL ini merupakan penelitian kolaborasi internasional pertama yang menganalisis kontribusi dari perubahan penggunaan lahan terutama hutan terhadap malaria dan evaluasi ekonominya yang dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya,” kata Wiku dalam rilisnya, Selasa (23/7).

Menurut hasil penelitian, rate malaria positif di Riau pada level kabupaten/kota akan meningkat 5 kasus per 100,000 orang/tahun ketika terjadi peningkatan satu fragmentasi hutan sekunder dengan luas lebih dari 5 km2. Sedangkan di Kalimantan Timur pada level kabupaten/kota, rate malaria positif akan meningkat 787 kasus per 100,000 orang/tahun jika terjadi deforestasi tutupan hutan primer sebesar 1 persen.

Hasil penelitian di Papua Barat pada level kabupaten/kota menunjukkan bahwa rate malaria positif akan meningkat 9,982 kasus per 100,000 orang/tahun ketika terjadi deforestasi 1 persen tutupan hutan sekunder. Namun secara umum, penelitian ini tidak menemukan asosiasi yang kuat.

Untuk melihat dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap malaria, terdapat banyak faktor risiko dan hubungan yang sangat kompleks. Penelitian ini hanya menganalisis deforestasi tutupan hutan dan fragmentasi hutan dengan rate malaria positif menggunakan data agregat.

Oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian lanjutan menggunakan data yang lebih lengkap untuk melihat hubungan yang lebih jelas. Penelitian DEAL juga telah mengembangkan sebuah model ekonomi yang dapat dipergunakan untuk menghitung nilai konversi optimal penggunaan lahan dengan asumsi dasar menggunakan pendekatan produksi minyak kelapa sawit.

Model ini dapat dipergunakan dan dikembangkan menggunakan variabel-variabel lain sesuai dengan kondisi daerah atau provinsi. Dengan demikian, perubahan penggunaan lahan tidak hanya berfokus pada keuntungan perkebunan, namun juga mempertimbangkan biaya sosial yang muncul akibat penyakit dan menurunnya nilai ekosistem.

Melihat pentingnya hubungan perubahan lahan dengan penyakit zoonosis, diperlukan adanya sistem informasi terintegrasi yang mampu untuk menyediakan data lintas sektor antara lingkungan hidup, kehutanan, kesehatan, dan ekonomi di level kabupaten, provinsi, dan nasional.

Selain sistem informasi, juga perlu diperkuatnya koordinasi dan kerja sama lintas kementerian khususnya antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak perubahan lahan terhadap penyakit dan hilangnya nilai ekosistem serta kerugian ekonomi yang timbul dalam pembuatan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPL) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) rencana tata ruang wilayah (RTRW) di Indonesia.

“Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah agar dapat turut memperhatikan dampak kesehatan dalam mengontrol perubahan penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat di Indonesia. Penelitian ini penting untuk terus dikembangkan guna mencegah dan mengendalikan penyakit yang berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan.” tutur dr. Anung Sugihantono, M.Kes selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement