REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan bakal mengalami defisit anggaran alias tekor senilai Rp 28 triliun pada tahun ini. Defisit BPJS membengkak dibandingkan dua tahun lalu yang nilainya sekitar Rp 9 triliun. Bagaimana nasib layanan BPJS dengan kondisi keuangan seperti itu?
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas mengakui, selama enam tahun terakhir terdapat tantangan menjalankan layanan kesehatan karena tak mencukupinya iuran. Alhasil, BPJS Kesehatan menggantungkan diri pada opsi suntikan dana dari pemerintah. Hal itu karena pemerintah memberikan lampu hijau terhadap opsi kenaikan iuran.
Keuangan BPJS Kesehatan defisit karena jumlah iuran yang dibayarkan peserta lebih kecil daripada nilai aktuaria atau perkiraan nilai iuran sesuai hitungan matematis. "Tidak mungkin bisa jalan dengan baik tanpa ada iuran sesuai hitungan aktuaria. Namun, kita ikut kebijakan pemerintah," katanya, Kamis (18/7).
Namun ia menjamin pelayanan kesehatan di RS tetap berjalan walau terjadi defisit. Sebab, permasalahan defisit selama ini tidak sampai menghentikan pelayanan secara total. Menurut dia, BPJS Kesehatan masih bisa menggantungkan iuran dari peserta dengan segmentasi mampu.
"Pada tahun keenam, pelayanan BPJS Kesehatan tetap berjalan. Pasien JKN tetap bisa akses layanan dan kami tetap kumpulkan iuran. Segmentasi peserta banyak dari PNS, Polri, TNI, dan swasta," kata Iqbal memaparkan.
Dalam hal pendanaan, ia menyebut, ada alternatif pendanaan untuk skala pendek berupa supply chain financing. Apabila BPJS gagal membayar utang, RS dapat meminta bank untuk mengambil alih. Kemudian, bank dapat memperoleh untung dari penalti bunga setiap bulan yang gagal dibayarkan BPJS Kesehatan ke RS tersebut.
Walau begitu, ia menekankan perlunya solusi jangka panjang guna mengatasi masalah keuangan di RS akibat piutang yang terlambat dibayarkan BPJS Kesehatan. "Karena ini bukan program BPJS saja, melainkan juga amanat UU yang harus dapat perhatian pemerintah," kata Iqbal menegaskan.
Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan KCU Jakarta Pusat. (ilustrasi)
Dana talangan
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ermalena menyarakan pemerintah kembali memberikan dana talangan sebagai solusi jangka pendek menambal defisit BPJS. Jika dana talangan tak diberikan, ia khawatir akan berdampak pada pelayanan rumah sakit hingga industri farmasi. "Tidak ada pilihan. Kalau dibiarkan utang terlalu besar, lama-lama industri obatnya bisa tutup," kata Ermalena saat dihubungi, Kamis (18/7) petang.
Namun, kata Ermalena, evaluasi terhadap sistem pelayanan kesehatan secara komprehensif tetap harus dilakukan. Saat ini, menurut Ermalena, Kementerian Keuangan sedang melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem pemberian layanan kesehatan yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan.
Ia mengatakan, Komisi IX DPR bersama para pemangku kepentingan terkait terus mendiskusikan sejumlah alternatif untuk mengatasi defisit BPJS. Beberapa alternatif yang telah dibahas, antara lain, kenaikan premi bulanan hingga perlunya peningkatan iuran biaya untuk penyakit penyakit //katastropik// dan penyakit-penyakit yang disebabkan perilaku hidup tidak sehat. \"Katakanlah para perokok itu //kan// dia menyakiti hidupnya sendiri. //Kenapa// negara harus bayar?\" ujar dia.
Ermalena menambahkan, DPR telah melakukan pengawasan dan meminta penjelasan dari BPJS kesehatan atas terjadinya defisit tersebut. Menurut penjelasan BPJS Kesehatan, kata dia, defisit terjadi karena banyak peserta mandiri yang tidak rutin membayarkan iuran bulanan sesuai kelasnya. "Yang peserta mandiri ini kalau dia sakit bayar. Setelah berobat, berhenti membayar," kata dia.
Oleh karena itu, ia menyarankan BPJS Kesehatan untuk terus memperbaiki manajemen sistem rujukan pelayanan kesehatan bertingkat. Misalnya, melalui faskes kemudian berlanjut ke tingkat D, C, B dan A. "Karena pada setiap tingkatan itu harganya berbeda."
Dengan cara itu, kata dia, pendistribusian pasien dapat terjadi dengan merata. Meskipun, kata Ermalena, jumlah layanan kesehatan tidak berbanding lurus dengan yang membutuhkan.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan menghitung instansinya mengalami defisit sekitar Rp 28 triliun hingga akhir 2019. Hitungan ini berdasarkan iuran yang diterima BPJS Kesehatan dikurangi dengan biaya pelayanan kesehatan.
"Pada akhir 2019 kami memprediksi mengalami kerugian Rp 28 triliun," ujar Asisten Deputi Direksi Bidang Pengelolaan Faskes Rujukan BPJS Kesehatan Beno Herman saat ditemui di diskusi Persi bertema "Defisit BPJS Kesehatan dan Dampaknya pada Keberlangsungan Pelayanan Rumah Sakit” di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa (16/7).
Ia menyebut, BPJS Kesehatan belum membayar Rp 9,1 triliun selama 2018 dan terbawa di laporan keuangan 2019. "Jadi, kalau kita hitung lagi defisit BPJS Kesehatan yang //real// 2019 itu Rp 19 triliun. Namun, kumulatifnya (utang 2018 dan 2019) sekitar Rp 28 triliun," ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR, Ichsan Firdaus, mengatakan, makin banyak kepesertaan BPJS Kesehatan, defisit akan makin besar. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah mencari sumber dana untuk menutupi defisit yang terus terjadi.
"Seperti pajak rokok. Itu kemudian dialokasikan untuk memberi subsidi ke BPJS," kata Ichsan menyarankan.
Politikus Partai Golkar itu juga menilai perlunya pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan, baik iuran PBI (penerima bantuan iuran) yang disubsidi pemerintah maupun kepesertaan mandiri. Pasalnya selama tiga tahun ini belum pernah ada kenaikan iuran. "Inilah waktunya pemerintah menaikkan iuran BPJS," ujar dia.
Dia mengatakan, jika pemerintah meminta persetujuan DPR agar BPJS Kesehatan kembali mendapatkan subsidi, Komisi IX berprinsip agar tetap mengutamakan pelayanan kesehatan di tingkat bawah. Jangan sampai pelayanan kesehatan terganggu hanya karena pemerintah tidak bisa membayar ke rumah sakit.
"Kalau terganggu, kami akan mendorong agar pemerintah mengatasi hal itu. Prinsip kami di Komisi IX, apa pun yang terjadi pelayanan kesehatan itu jadi prioritas utama," ujarnya.
Anggota Komisi IX lainnya, Irma Suryani Chaniago, mengatakan, BPJS merupakan perintah undang-undang. Berapa pun subsidi yang dibutuhkan tetap harus dipenuhi. "Untuk memperbaiki itu, harus dilakukan tindakan atau solusi yang komprehensif," ujarnya. n arif satrio nugroho/ rizki suryarandika/febrianto adi saputra ed: satria kartika yudha