Selasa 16 Jul 2019 20:02 WIB

80 Persen Tenaga Konstruksi di Jabar Belum Bersertifikat

Sertifikasi kompetensi penting untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja konstruksi.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Ratusan Prajurit Zeni TNI Angkatan Darat Wilayah Jawa Barat, ikuti Sertifikasi Kompetensi Bidang Konstruksi  di Mazidam III/Siliwangi, Selasa (16/7).
Foto: Foto: Arie Lukihardianti/Republika
Ratusan Prajurit Zeni TNI Angkatan Darat Wilayah Jawa Barat, ikuti Sertifikasi Kompetensi Bidang Konstruksi di Mazidam III/Siliwangi, Selasa (16/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sebanyak 80 persen tenaga kerja konstruksi Jabar belum mengantongi sertifikat kompetensi. Kondisi itu terjadi karena masih rendahnya kesadaran tenaga kerja konstruksi untuk mengikuti sertifikasi

Padahal, menurut Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Jabar, Asep Candra Supriatna, biaya sertifikasi kompetensi lebih rendah jika dibandingkan dengan benefit peningkatan upah yang mereka terima setelah tersertifikasi.

"Kondisi itu terjadi karena masih rendahnya kesadaran tenaga kerja konstruksi untuk mengikuti sertifikasi," ujar Asep di acara Sertifikasi Kompetensi Bidang Konstruksi Prajurit Zeni TNI Angkatan Darat Wilayah Jawa Barat 2019 di Mazidam III/Siliwangi, Selasa (16/7).

Asep mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan oleh tenaga ahli mulai dari pelatihan, pembekalan, hingga pengujian sekitar Rp 1,25 juta per orang. Sementara untuk tukang rata-rata Rp 500 ribu per orang.

Menurut Asep, jika tenaga kerja konstruksi tersebut sudah terbiasa melakukan pekerjaan terkait, mereka bisa langsung mengikuti pengujian. Biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 200 ribu per orang. Nantinya, tenaga kerja konstruksi yang memiliki sertifikasi berpotensi naik. 

"Jika tanpa sertifikasi upahnya misalnya Rp 150 ribu, dengan sertifikasi akan naik menjadi Rp 200 ribu per hari," katanya.

Sertifikasi kompetensi juga penting untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja konstruksi, bahkan hingga ke ranah global. Sertifikasi konstruksi yang dikeluarkan sudah diakui secara internasional. 

Saat ini, kata dia, salah satu persoalan saat tenaga kerja asal Indonesia masuk ke pasar konstruksi internasional, salah satunya Arab Saudi, adalah kepemilikan sertifikat kompetensi. "Daya saing mereka kalah dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain, seperti Bangladesh," katanya.

Padahal, kata dia, sertifikat kompetensi ibarat SIM bagi pengemudi. Untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri pun, tenaga kerja sektor konstruksi hanya tinggal menunjukan sertifikat kompetensi yang mereka miliki.  "Jadi sertifikasi bukan hanya amanat Undang-undang No 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, tapi memiliki benefit besar, untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja sektor konatruksi," katanya.

Asep mengatakan, tingginya jumlah tenaga kerja konstruksi yang belum mengantongi sertifikasi kompetensi bukan hanya terjadi di Jabar, tapi secara nasional. Bahkan, secara nasional jumlahnya jauh lebih besar.

Perlu diketahui, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) mengungkapkan, saat ini tenaga kerja konstruksi yang memiliki sertifikat baru mencapai 512.787. Angka itu setara dengan 9,67 persen dari total tenaga kerja konstruksi di Indonesia yang jumlahnya diperkirakan sebesar 5,3 juta orang.

Ketua LPJKN, Ruslan Rivai merinci, jumlah tersebut terdiri dari 158.070 orang tenaga ahli dan 386.802 orang tenaga terampil. Dengan catatan, setiap tenaga kerja bisa dikategorikan sebagai tenaga ahli dan tenaga terampil. 

Sementara menurut Direktur Bina Kompetensi dan Produktivitas Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Ober Gultom,  pihaknya menggelar sertifikasi kompetensi bidang konstruksi Prajurit Zeni TNI AD Wilayah Jawa barat. Semua peserta pelatihan akan mendapatkan teori dan praktik selama 3 hari.

"Sertifikasi ini, harus dilakukan sesuai amanah Undang-undang setiap jasa konstruksi harus bersertifikasi," katanya.

Sertifikasi konstruksi untuk prajurit TNI, kata dia, sangat diperlukan karena mereka akan membantu masyarakat untuk pembangunan di perbatasan. Misalnya, perbatasan Kalimantan dan Papua serta penanggulangan bencana dan manunggal ABRI masuk desa. 

Semua pekerjaan kontruksi, kata dia, harus dikerjakan Kementrian PUPR sesuai amanah Uu No 13/2017 maka harus dikerjakan orang berkompeten. Sehingga, sertifikasi diberikan negara melalui Dirjen Bina Konstruksi. "Tak hanya TNI, seluruh orang yang bekerja di konstruksi  harus bersertifikat," katanya.

TNI, kata dia, banyak terlibat di bidang konstruksi makanya Kementerian PUPR memfasilitasi pelatihan untuk TNI. Pelatihan ini, diikuti oleh 420 peserta dari seluruh kodam. "Untuk DKI, prajurit zeni yang mengikuti sertifikasi ada 1.500. Kami pun akan sasar semua prajurit TNI di wilayah Jabar," katanya.

Di tempat yang sama, Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) III/Siliwangi, Brigjen TNI Dwi Jati Utomo mengatakan, TNI AD dari Zeni tempur memiliki kemampuan membangun konstruksi. Di wilayah kodam III ada 420 orang yang mengukuti sertifikasi kontruksi. Karena, setiap tahun anggota TNI tersebut melakukan pembangunan baru dan melakukan  pemeliharaan.

"Dengan adanya sertifikasi artinya prajurit diakui dan berstandar Dirjen Bina konstruksi," katanya.

Dwi mengatakan, prajuritnya biasanya membangun rumah prajurit, memelihara bangunan yang sudah dibangun, dan aktivitas kontruksi lainnya. Pada 2018 lalu, pihaknya memiliiiki anggaran untul seluruh kodam sebesar Rp 150 miliar untuk pembangunan fasilitas maupun pemeliharaan.

"Anggaran untuk kontruksi itu yang membangun pemborong tapi pengawasnya TNI Zeni kalau bersertifikasi kan jadi hapal kualitas kontruksi," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement