REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Malang mengaku masih menemukan sejumlah permasalahan dalam menerapkan sistem e-Retribusi di pasar tradisional. Salah satunya dari keberatan pedagang atas biaya administrasi.
"Tiap bulan harus keluarkan Rp 5 ribu. Itu kan fasilitas ATM, aturannya seperti itu. Dan ini buat menabung mereka juga di Bank Jatim," kata Kepala Disdag Kota Malang, Wahyu Setianto kepada wartawan di Gedung DPRD Kota Malang.
Permasalahan berikutnya, Wahyu acap menerima laporan alat gesek untuk transaksi e-Retribusi bermasalah. Ketiadaan sinyal menjadi salah satu penyebabnya seperti yang dialami pedagang di Pasar Besar (Pasbes) Kota Malang. Hal ini terutama di lantai bawah yang lokasinya agak masuk ke dalam pasar.
"Kalau yang di luar, nggak ada masalah," tuturnya.
Karena kasus ini, Wahyu mengaku, pihaknya berupaya untuk terus berkoordinasi dengan Bank Jatim untuk melakukan pendampingan. Bank Jatim juga diminta agar memberikan perlakuan khusus pada biaya administrasi para pedagang. Sebab, banyak pedagang yang merasa keberatan mengeluarkan biaya Rp 5 ribu.
"Pedagang kan kalau retribusi (manual) ada yang Rp 1 ribu, Rp 2 ribu sedangkan e-Retribusi Rp 5 ribu, itu bisa berapa hari mikirnya," tambahnya.
Meski masih menemukan sejumlah masalah, Wahyu mengungkapkan, presentase penerapan e-Retribusi sudah meningkat hingga 80 persen. Bahkan, pendapatan e-Retribusi sudah mencapai 53 persen dari target Rp 6 miliar per tahun. "Tadinya 49 persen jadi 53 persen kemarin Juni. Ini ada peningkatan," jelas Wahyu.
Disdag Kota Malang sendiri masih harus menerapkan sistem e-Retribusi secara keseluruhan di Pasar Besar (Pasbes) Kota Malang, Pasar Madyopuro, Pasar Belimbing dan Pasar Induk Gadang. Kebanyakan para pedagang di pasar tersebut sudah membuka rekening di Bank Jatim. Hanya saja, semua masih terkendala pada penyediaan alat gesek yang tengah diupayakan oleh Bank Jatim.