Selasa 02 Jul 2019 21:06 WIB

Indonesia Belum Punya Tokoh yang Bisa Satukan Semua Elite

Indonesia tak memiliki tokoh yang dapat mempersatukan seluruh elite bangsa.

Rep: Nugroho Habibi/ Red: Andri Saubani
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego mengatakan Indonesia tak memiliki tokoh yang dapat mempersatukan seluruh elite bangsa. Hal itu disampaikan menyusul belum bertemunya antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.

Samego menjelaskan, rekonsiliasi tak terlepas dari keberadaan tokoh sentral yang mampu mempertemukan seluruh tokoh bangsa. Sejauh ini, Dia menyebut, belum ada referensi tokoh yang mencontohkan berrekonsoliasi dengan baik.

"Saya kira kita tidak punya tokoh seperti Mandela yang dianggap sebagai pemimpin semua fraksi atau semua kubu," kata Samego dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (2/7).

Dia menjelaskan, Nelson Mandela dapat mengajak semua lapisan bangsa untuk bersatu. Bahkan, dia menyebut, Mandela dapat memaafkan pasukan yang telah menjajah negara yang dipimpinnya sekalipun.

"Mandela mengajak sudahlah kita maafkan penjajah itu. Artinya Mandela bisa menerima tindakan-tindakan penjajah kolonial," jelasnya.

Dengan cara seperti itu, Afrika Selatan mulai menjadi negara yang sangat di hargai dibelahan dunia. Negara yang dipimpin Mandela itu juga semakin menunjukkan eksistensinya dan semakin maju.

Sedangkan, di Indonesia yang memiliki masyarakat yang heterogen (berbeda-beda) dan sangat luas, para pemimpinnya sangat susah untuk berekonsiliasi. Samego mencontohkan, pada era Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) yang merupakan pimpinan Nahdatul Ulama (NU) masih berbenturan dengan pimpinan Muhammadiyah, Amien Rais.

"Gus Dur ya itu pemimpinya Nahdhatul Ulama, tidak untuk Muhammadiyah," jelasnya.

Apalagi, kata Samego, masih ada kelompok lainnya, misalnya, Abangan Sri Sultan, tokoh nasionalis Megawati, dan lainnya. Sehingga, untuk rekonsiliasi membutuhkan waktu dan terkadang tidak terwujud.

"Pendekatan budaya politik itu mulai luntur lama-lama kelamaan, artinya tidak selalu, pemimpin atau elite itu bisa menentukan (rekonsiliasi)," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement