Rabu 03 Jul 2019 04:55 WIB

Fiqh Asoy: Tentang Anjing, Mut'ah, Poligami, dan Makkah

Di Indonesia banyak orang yang mengambil cara enak di dalam menyikapi fiqh.

Masjid Suleiman di Istanbul
Sepatu yang dijual di salah satu bazar tradisional di Maroko.

Dan tak hanya soal anjing atau nikah mut'ah, soal poligami di Indonesia juga sering dianggap sebelah mata sebagian orang seolah barang mainan. Apalagi setelah tahu di Maroko dan beberapa negara lainnya, justru kaum perempuan menuntut poligami.

Padahal kita tahu, di negara itu mulai 'jomplang' komposisi jumlah kaum lelaki dengan perempuan. Perempuan di sana pun juga tahu syarat yang 'kagak ringan' bila ada lelaki di negaranya akan berpoligami.

Semua mahfum bila di kawasan yang terpengaruh budaya Arabia nikah itu sangat mahal biayanya. Pihak lelaki selain harus bayar mahar yang mahal, dia harus sediakan rumah seisinya untuk calon mempelai perempuan.

Bahkan saya tahu sendiri, misalnya ketika di Lebanon, perempuan sana menuntut rumah seisinya beserta mobil, Mercy lagi. Makanya banyak lelaki Beirut nikahnya tua-tua nunggu mapan dan punya duit. Dan ini juga terjadi di Libya zaman Khadafi yang membuatnya kerap bagi-bagi duit untuk biaya nikah (bahkan tunjangan perumahan) kepada pasangan baru.

"Hal sama juga terjadi di Yordania. Teman karib saya pergi meliput perang Irak di tahun 1990-an lewat Yordania. Dia ngomong begini: Di sana bila ada sembilan gadis yang lewat, 11 yang cantik. Tapi untuk menikahi mahalnya minta ampun. Beda dengan di Indonesia, bisa nikah hanya modal seperangkat sholat dan Alquran. Mahar malah bisa diutang,'' lanjut Fahmi sembari terkekeh-kekeh.

Lha di Indonesia soal ini amburadul. Fatwa seorang Syekh Al Azhar yang mengatakan ciri adil adalah kemampuan suami memberikan materi secara mumpuni, di sini dianggap sepele. Jadi jangan heran bila tukang ojek yang biasa mengantar saya dengan riang gembira omong bila isterinya lebhi dari satu. Jadi bayangin itu!

Pada suatu hari dia bersloroh begini: "Igame (agama, red) jangan diberatin-beratin bang. Di igame kan nikah lebih dari atu itu  tidak haram. Jadi selow saja. Jadi kalau mau nambah bini paling banter bini tue ngamuk dulu tuh. Biasa aje, tapi setelah itu damai saja. Ya kayak orang cabut puun (pohon) ubi kayu gitu, hanya susah diawal. Kalau sudah lewati yang atu, maka yang berikutnya bablas dan endah-endah saja. ha ha ha,'' katanya dengan nada ringan.

Mendengar itu saya sembari ikut tertawa kemudian berpikir: Ini sih cara ngeles model penganut mahzab atau sekte enak atau asyoi seperti kata lagu dangdut Elvi Sukaesih di tahun 1970-an: "Sedikit nyentrik asoy. Segala yang dilihat semua asoy, asoy." Saya membatin lagi seraya mengatakan kata sakti teman saya di Jogja: Stres kan bebas!

Lucunya lagi, ada seorang kiai sangat tenar pernah cerita soal mahzab di Mesir. Katanya sembari bertanya: Mengapa orang penganut mahzab fiqh Syafii hidupnya gak semakmur yang mahzab Hanafi? Yang kaya-kaya kok mereka? Nah, untuk yang ini saya tak tahu jawabannya. Soal mahzab dan fiqh bikin saya pusing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement