Selasa 02 Jul 2019 09:11 WIB

PKS-Gerindra akan Memilih Oposisi?

Partai Demokrat belum satu suara terkait posisi mereka.

Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno bersama para partai koalisi seusai memberikan keterangan terkait putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 di Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (27/6).
Foto: Republika/Prayogi
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno bersama para partai koalisi seusai memberikan keterangan terkait putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 di Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra mungkin akan tetap menjalankan peran sebagai koalisi partai oposisi pemerintah. Namun, hingga Senin (1/7), kedua partai atau partai pendukung Koalisi Adil Makmur belum memutuskan arah kebijakan partai masing-masing.

Ketua Bidang Kepemudaan DPP PKS Mardani Ali Sera mengajak seluruh partai eks koalisi Indonesia Adil Makmur untuk sama-sama mengambil bagian menjadi oposisi. "Ayo, semua rekan-rekan koalisi 02 kita sudah bubar, kita bertransformasi jadi kaukus. Kita sama-sama bangun negeri ini. Walaupun jadi oposisi, tapi tetap itu pekerjaan yang mulia," kata Mardani di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (1/7).

Kendati demikian, PKS tidak mempermasalahkan jika pada akhirnya oposisi hanya diisi oleh Partai Gerindra dan PKS. Menurut Mardani, koalisi terbaik adalah berkoalisi dengan rakyat. "Siapa pun yang membela kepentingan rakyat, sekecil apa pun, dia jadi besar. Sedikit apa pun, dia jadi banyak," tuturnya.

Ia pun mengisahkan kembali bagaimana cicak bisa menang melawan buaya ketika didukung oleh rakyat pada saat ramai-ramai “cicak vs buaya”. Ia yakin dukungan rakyat akan didapatkan PKS dan Gerindra jika berada di dalam oposisi. "Kami tetap yakin," katanya.

Mardani menegaskan, sikap resmi PKS tetap menunggu hasil musyawarah Majelis Syura. Namun, ia sendiri menilai bahwa menjadi oposisi kritis dan konstruktif merupakan pilihan yang paling rasional dalam kondisi sekarang. "Kita harus mengakui kemenangan Pak Jokowi dan Kiai Ma'ruf. Dan pada saat yang sama kita sama-sama mencintai negeri, tetapi tidak dengan bersama dalam koalisi, tapi itu menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif," kata Mardani.

Gerindra juga mengisyaratkan tetap bersama PKS menjadi oposisi. Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Muhammad Syafii mengklaim kader Gerindra di akar rumput disebut lebih memilih berada di pihak oposisi daripada menjadi bagian dari pemerintahan. "Menurut saya, demokrasi yang sehat itu harus ada check and balance, yaitu selain partai pendukung, harus ada partai oposisi, dan saya meyakini Gerindra akan tetap pada posisi sebagai oposisi," kata Syafii.

Syafii mengatakan, demokrasi yang sehat memiliki dua pilar, yaitu partai pendukung dan oposisi. Demokrasi tidak akan sehat bila semua partai menjadi partai pendukung pemenang pemilu. Menurut dia, harus ada yang bersikap oposisi. "Gerindra sejak awal sudah menunjukkan //positioning// sebagai partai oposisi. Tentu dalam kondisi yang sama ketika kita belum memenangi pilpres, tentu kita akan membuat posisi yang sama untuk menyehatkan demokrasi untuk tetap menjadi oposisi," ujar dia.

Syafii meyakini, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menginginkan demokrasi yang sehat. Maka itu, ia yakin Gerindra lebih condong untuk tetap berada di jalur oposisi. Kendati demikian, anggota Komisi III DPR RI itu mengakui, Partai Gerindra belum menyatakan secara resmi soal posisi politiknya itu. Menurut dia, Prabowo akan terlebih dahulu mendengarkan pendapat para pakar atau ahli.

Di tempat lain, Partai Demokrat belum satu suara terkait posisi mereka. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, saat ini pihaknya masih menimbang apakah akan bergabung dengan koalisi partai pendukung Jokowi-Ma'ruf atau berada di kubu oposisi. "Per hari ini ada yang mau minta di oposisi aja atau di luar seperti sekarang ada juga. Ada juga yang berpendapat, bagus bersama-sama (Jokowi)," ujar Hinca.

Hinca mengatakan, mekanisme penentuan posisi politik akan ditentukan Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sementara itu, Majelis Tinggi baru akan bersidang setelah habisnya masa jabatan Partai Demokrat, yakni setelah 10 Juli 2019 mendatang. "Nanti di situ diputuskan posisi Partai Demokrat. Memang, ketua majelis tinggi partai itu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), ada 15 anggotanya, termasuk saya," ujar Hinca.

Nasdem berharap partai yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tetap berperan sebagai oposisi. Politikus Partai Nasdem Taufiqulhadi menilai posisi oposisi akan lebih baik untuk koalisi pengusung Prabowo-Sandi demi jalannya kehidupan demokrasi di Indonesia. "Menurut saya, tidak perlu meminta ataupun diajak berada di dalam koalisi Pak Jokowi-Ma'ruf," kata Taufiqulhadi.

Berkaca pada dukungan yang diberikan PAN pada periode lalu, Taufiqulhadi menganggap PAN memberikan dukungan setengah-setengah dan terkesan tidak ikhlas. Oleh karena itu, ia berharap agar sikap setengah-setengah tersebut tidak terulang lagi di periode pemerintahan yang akan datang. "Kita menghitung sebagai teman tidak bisa, menghitung sebagai lawan tidak bisa," ujarnya.

Hal tersebut, menurut dia, berbeda dengan dukungan yang diberikan PPP dan Partai Golkar yang mendukung pemerintahan Jokowi secara total. Oleh karena itu, jika ada partai yang ingin bergabung, sikap politiknya harus jelas.

"Harus diperjelas sikapnya seperti jelasnya sikap Golkar dan PPP bergabung dulu. Tetapi, terlepas dari itu, saya personal, ini bukan pendapat koalisi, tetapi saya personal, menyerukan pada partai itu untuk tetap menjadi koalisi yang baik bagi bangsa Indonesia," ujarnya. N febrianto adi saputro, arif satrio nugroho ed: agus raharjo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement