REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Puluhan hektare lahan pertanian di Kampung Sukaruji, Desa Sukaraja, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mulai mengalami kekeringan. Bahkan, sebagian tanah sawah mulai retak-retak lantaran tak mendapatkan pasokan air.
Iyan (42 tahun), salah satu petani di Kampung Sukaruji, mengatakan, kondisi kekeringan itu sudah dialami sekitar satu bulan terakhir. Menurut dia, sawah yang tanahnya sudah mulai retak-retak dipastkan akan mengalami gagal panen. "Kalau sekarang ada hujan seminggu bisa diselamatkan. Ini sudah pecah tanahnya, susah untuk selamat," kata dia, Ahad (30/6).
Menurut Iyan, kekeringan yang terjadi saat ini lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya. Pasalnya, saat ini tanah sawah sampai mengalami keretakan. Akibatnya, tanaman padi yang baru berumur dua bulan itu tak bisa dipanen.
Iyan mengatakan, untuk satu petak lahan petani bisa merugi hingga Rp 2 juta. Kerugian itu untuk bibit, pupuk, hingga biaya perawatan. Untuk mengurangi kerugian, Iyan menjual sebagaian tanaman padi yang telah menghijau untuk pakan ternak. "Itu juga harganya gak seberapa, yang beli masih saudara dan seikhlasnya," kata dia.
Meski begitu, walaupun sebagian lahan sawah sudah mengering, kebutuhan air bersih di Desa Sukaraja masih tersedia. Ia berharap, kemarau kali ini tidak terlalu panjang sehingga tak menyulitkan warga.
Salah satu petani lainnya, Aang Yusuf Munawar (43) mengatakan, setidaknya 30 hektare lahan sawah di Desa Sukaraja telah mengalami kekeringan. Dari 30 hektare itu, sekitar 85 persen dipastikan gagal panen.
Aang mengatakan, rata-rata lahan sawah di Desa Sukaraja merupakan sawah tadah hujan. Karena itu, ketika hujan dan turun salam satu bulan, kekeringan sudah langsung mengancam.
Seperti juga Iyan, Aang dan petani lainnya memilih untak menjual tanaman padi yang belum matang itu untuk pakan ternak. "Untuk meminimalisasi kerugian, kami jadikan pakan ternak. Daripada tidak jadi apa-apa," kata dia.
Menurut Aang, salah satu cara untuk mengatasi kekeringan di Desa Sukaraja adalah dengan menyedot air. Namun, biaya operasional yang tinggi membuat para petani enggan mengambil langkah itu.
Aang mengakui, sebelum menanam padi, para petani sebenarnya sudah mengetahui prediksi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofusika (BMKG) terkait musim kemarau. Namun, para petani memilih tetap mencoba berusaha daripada lahannya tak digunakan untuk apa-apa. "Kalau nggak ditanem buat apaan. Gak bisa diapa-apain lagi. Ya kami usaha dulu," kata dia.
Kepala Desa Sukaraja Andi Lala M Afandi mengatakan, pihaknya memang telah menerima laporan kekeringan dari masyarakat. Setidaknya 20 hingga 30 persen dari 120 hektare lahan sawah yang ada di desa itu telah mengalami kekeringan.
Selain kekeringan, para petani juga mulai mengeluh banyaknya tikus yang mengganggu sawah. "Kami juga belum berkoordinasi dengan dinas terkait. Tapi mudah-mudahan akan segera dapat bantuan," kata dia.
Andi mengklaim, pihak desa sebenarnya telah mengantisipasi bencana kekeringan yang melanda wilayah itu. Salah satunya adalah dengan memperbaiki dan membangun saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Namun, rata-rata lahan persawahan di Desa Sukaraja adalah tadah hujan. Karena itu, Andi berharap ada bantuan lain untuk pembuatan bendungan dari dinas terkait. "Kami berharap pembangunan irigasi untur sumber air berupa bendungan atau dam. Karena setiap tahun kekeringan selalu terjadi di Desa Sukaraja," kata dia.
Meski sebagian lahan persawahan telah mengering, kebutuhan air bersih untuk warga masih bisa terpenuhi. Andi mengatakan, hingga saat ini belum ada permintaan dari warga untuk suplai air bersih.