REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego menilai rekonsiliasi antara dua elite, termasuk pengusung dan pendukung paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Jokowi-Ma'ruf Amin, harus dilakukan secara konkret. Menurut dia, praktik politik di Indonesia mengenal 'politik dagang sapi' yang sangat transaksional.
"Sehingga tidak ada makan siang yang gratis, semuanya harus ada reward atau imbalan. Baik yang mendukung, mengusung atau yang sempat berseberangan," kata Indria Samego, Sabtu (29/6).
"Dan reward yang paling prestisius adalah jatah menteri kabinet, baik dia sebagai partai pendukung atau bahkan yang sempat menjadi oposisi," kata menambahkan.
Jadi kalau ada imbalan dalam rekonsiliasi, menurutnya, yang dimaksud adalah jatah menteri di kabinet. "Boleh setuju atau tidak setuju, tapi itulah yang terjadi," tegasnya.
Walaupun ada yang menilai tidak perlu rekonsiliasi, demi menjaga oposisi ke pemerintah, Samego menegaskan, pemerintah Indonesia, tidak mengenal oposisi di parlemen. Sebab, di dalam fungsi parlemen sudah ada fungsi pengawasan, budgeting, legislasi.
"Jadi sudah otomatis di dalam fungsi parlemen sudah menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah di parlemen," ujarnya.
Samego mengakui, Jokowi sebagai presiden memiliki hak prerogatif, namun ia beranggapan partai yang diajak bergabung tetap perlu memberi kandidat calon menteri profesional. Hal itu, menurut dia, demi terwujudnya Zaken Kabinet atau Kabinet Profesional.
"Walaupun bagi-bagi jabatan, tapi partai jangan juga memberi calon nama menteri yang memiliki integritas dan kapabilitas. Sehingga cita cita Jokowi soal Nawacita jilid dua semakin mudah dicapai," terangnya.