Kamis 27 Jun 2019 07:37 WIB

Anies Siapkan Langkah Strategis Soal Reklamasi

Anies menilai untuk mencabut perda yang diterbitkan pada masa Ahok, tidak mudah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Anies Baswedan
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan, posisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dalam proyek reklamasi menjadi pihak dalam perjanjian kerja sama (PKS) dengan swasta. Menurutnya, PKS yang disepakati sejak 1997 itu bisa diadendum.

"Dalam semua urusan di Jakarta, Pemprov itu sebagai regulator ya, dalam urusan reklamasi Pemprov itu jadi apa? Jadi pihak coba," ujar Anies, Selasa (25/6).

Untuk itu, Anies tengah menyiapkan langkah strategis terkait perubahan PKS reklamasi tersebut. Akan tetapi, dia belum mau memaparkan strategi yang akan dilakukannya itu.

"Nah, itu saya tidak akan bicarakan strategi yang sekarang. Saya enggak bicarakan strategi, nanti kalau bicara strategi ingat seperti saya dulu membuat badan pelaksana reklamasi? Kan dikritik semuanya tuh," lanjut Anies.

Pemprov DKI Jakarta terikat kerja sama dengan pengembang terkait dengan reklamasi yang tercantum dalam PKS sejak 1997. PKS tersebut juga telah diubah berulang kali hingga terakhir pada Oktober 2016.

Selain itu, Pemprov DKI Jakarta masih juga belum membahas kewajiban kontribusi yang akan dikenakan kepada pengembang lahan reklamasi. Sebelum memasuki permbahasan kontribusi dan perubahan PKS, kata Anies, pihaknya masih perlu menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya.

Salah satunya, terkait dengan penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan di atas Pulau D atau Kawasan Pantai Maju yang Anies sebut sudah telanjur dibangun. Anies menekankan, diterbitkannya IMB sudah sesuai aturan hukum berlandaskan Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 yang mencantumkan panduan rancang kota (PRK) atas Pulau C, D, dan E.

Menurut Anies, PRK tersebut menjadi landasan atas terbitnya hak pengelolaan lahan (HPL) untuk Pemprov DKI Jakarta dan hak guna bangunan (HGB) yang hingga saat ini masih dimiliki oleh pengembang PT Kapuk Naga Indah. HGB itulah yang menjadi acuan untuk diterbitkannya IMB.

Sebab, lanjut Anies, bangunan-bangunan tersebut tak melanggar PRK, tapi melanggar terkait perizinan. Sementara, ia sudah menyegel dan meminta kepada pengembang untuk membayar denda karena telah membangun tanpa menunggu terbitnya IMB.

Setelah pengembang membayar denda itu maka pengembang juga bisa mengajukan penerbitan IMB. Sehingga, dengan adanya HGB, menurut Anies, Pemprov DKI tidak bisa serta merta merobohkan bangunan-bangunan itu.

"Karena pelanggarannya adalah soal IMB, dan saya tidak membongkar gedung-gedung itu, bangunan itu sebagai ketaatan pada prinsip hukum tata ruang dan kepastian atas aturan," kata Anies.

Ia juga menambahkan, tak bisa begitu saja mencabut pergub yang diterbitkan era mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok itu. Sebab, pencabutan pergub tidak mungkin berdampak banyak karena hukum tata ruang tidak berlaku surut, sehingga tidak akan efektif membatalkan bangunan-bangunan yang sudah ada.

"Jadi, ketika kemudian diterbitkan Pergub itu ada rujukannya. Menurut saya, yang mengerjakan ini semua cerdik, serius, dan itu semua dikerjakan dikebut sebelum saya mulai kerja. Ini yang bikin sebel," papar Anies.

Sementara itu, Direktur Rujak Center for Urban Studi Elisa Sutanudjaja menjelaskan tentang revisi Peraturan daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Menurutnya, kedua perda itu bentuknya tak boleh mengakomodasi terhadap IMB yang sudah terbit atas ratusan bangunan di Pulau Reklamasi.

Elisi merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai landasan hukumnya. Ia mengatakan, peninjauan kembali (PK) maupun revisi RTRW dilakukan bukan untuk melalukan penyimpangan pemanfaatan ruang.

"Peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah provinsi dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang,\" ujar Elisa saat dihubungi Rabu (26/6).

Dalam UU Nomor 26/2007 yang disebutkan dalam Pasal 37 (4), penarikan IMB pun sebenarnya bisa dilakukan jika tidak sesuai dengan RDTR yang ditetapkan. Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW, dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Aturan terkait RTRW Pulau Reklamasi tersebut rencananya dimasukkan dalam revisi Perda Nomor 1 Tahun 2012 RTRW dan Perda Nomor 1 Tahun 2014 RDTR. Sekretaris Daerah Saefullah menyampaikan pembahasan revisi tersebut memang belum dilakukan. Pembahasan baru akan dilangsungkan pada peninjauan kembali RDTR tahun ini.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Bestari Barus memperkirakan, RDTR yang tengah direvisi akan mengakomodasi terhadap sejumlah bangunan yang sudah diterbitkan IMB-nya di Pulau Reklamasi. "Seharusnya, perdanya selesaikan walaupun sifatnya akan akomodatif," kata Bestari.

Bestari menilai, kedua perda tersebut perlu untuk segera dituntaskan. Menurut dia, bahkan lebih jauh lagi sebenarnya perlu ada zonasi dengan landasan perda tersebut terlebih dahulu sebelum adanya penerbitan IMB.

"Bahwa dasar daripada pembentukan pemberian (IMB) yang disyaratkan UU semua tanah di Jakarta ketika akan dimanfaatkan dilihat peruntukannya," jelas Bestari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement