REPUBLIKA.CO.ID, KOTAWARINGIN BARAT -- Memasuki kemarau, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) mendeteksi sedikitnya enam titik panas (hotspot) hingga Selasa (25/6) malam. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian LHK Djati Witjaksono Hadi mengatakan, hingga Selasa malam, jumlah titik panas yang terdeteksi ada enam.
"Yaitu di Riau dua titik, Jambi dua hotspot, Sumatra Selatan satu titik, dan Lampung satu titik," ujarnya saat ditemui Republika, di sela-sela rakor humas, di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng), Selasa malam.
Begitu terdeteksi adanya titik panas, dia menambahkan, tim gabungan yang terdiri dari Manggala Agni, TNI/polri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) langsung turun ke lapangan untuk mengecek apabila benar terjadi kebakaran maka langsung dipadamkan. Kemudian, jika ditemukan ada oknum yang membakar sampah, pihaknya akan langsung memadamkan api.
Jika pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak bisa ditangani dengan cara tersebut, ia meminta pemerintah daerah (pemda) menetapkan status siaga dan melaporkan ke tingkat lebih tinggi untuk mendapatkan bantuan pemadaman seperti water bombing. Kini, ia menyebut tim juga terus melakukan patroli utamanya di provinsi-provinsi yang rawan terjadi karhutla.
"Di antaranya Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur," ujarnya.
Selain itu, ia menyebut titik lainnya di Sulawesi dan di Papua Barat bagian selatan juga rawan karhutla. Ia menyebut pemantauan ini efektif dilakukan di masing-masing kabupaten dan provinsi tersebut dan petugas maupun masyarakatnya diklaim telah dilengkapi pemahaman mengenai pemadaman api. Selain melibatkan petugas Kementerian LHK dan masyarakat peduli api, ia menyebut pemerintah daerah (pemda) ikut menanggulangi karhutla.
"Artinya ini masalah lingkungan di kabupaten dan provinsi. Kami (pemerintah pusat) sebagai regulator hanya membuat aturan, memfasilitasi, dan mengevaluasi implementasinya," katanya.
Ia menambahkan, biasanya di awal kemarau dan di akhir kemarau ada rapat koordinasi nasional mengenai karhutla. Kemudian presiden memanggil semua pemangku kepentingan termasuk pemangku kepentingan di tingkat daerah seperti bupati, Kementerian LHK, hingga TNI/polri.
"Lalu presiden memberikan ultimatum kalau terjadi karhutla maka harus ditanggulangi secepatnya," ujarnya.