REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk benar-benar selektif dalam memilih pimpinan KPK masa jabatan 2019-2023.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhani mengatakan, Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi seorang Pimpinan KPK bukan merupakan hal yang mudah. Berbagai ancaman seakan sudah menjadi santapan dalam keseharian, mulai dari kriminalisasi tanpa adanya dasar hukum yang jelas sampai pada upaya kekerasan.
"Tak terbatas itu, seorang Pimpinan KPK pun harus bersiap menghadapi berbagai upaya pihak-pihak yang ingin melemahkan lembaga anti rasuah. Sebut saja ancaman revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang materinya seakan ingin menghapus kewenangan yang selama ini dimiliki oleh KPK," Ujarnya melalui keterangan rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (22/6).
Selain itu, harus dipahami bahwa KPK adalah sebuah lembaga penegak hukum yang bersifat dinamis. Menurutnya, tak jarang konflik di internal menyeruak di tengah publik. Ia menjelaskan, seperti contohnya pada pertengahan April lalu saat mayoritas pegawai mengeluh atas kinerja dari petinggi Kedeputian Penindakan yang dituangkan dalam sebuah petisi untuk Pimpinan KPK.
Maka untuk itu ada beberapa catatan serius yang menurutnya harus dipertimbangkan matang-matang oleh Pansel dalam menjaring calon Pimpinan KPK. Di antaranya adalah tidak adanya kewajiban dalam peraturan perundang-undangan manapun yang menyebutkan bahwa Pimpinan KPK mesti berasal dari instansi penegak hukum tertentu.
"Isu ini rasanya selalu mengemuka tiap kali komisioner lembaga anti rasuah itu akan berganti. Ini harus direspon dengan serius, karena bagaimanapun rekam jejak para penegak hukum juga tidak terlalu baik di mata publik dalam konteks pemberantasan korupsi," Ujarnya.
Kurnia menjelaskan, saat ini KPK sedang menangani kasus korupsi dengan skala politik dan nilai kerugian negara yang sangat besar. Untuk itu maka Pansel mempunyai kewajiban agar Pimpinan KPK ke depan tidak berupaya untuk menghambat penanganan beberapa kasus tersebut.
Ia menambahkan, setiap orang yang mendaftar sebagai Pimpinan KPK harus mundur dari institusinya terdahulu. Mengingat Pasal 3 UU KPK telah secara gamblang menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal ini sekaligus menghindari potensi loyalitas ganda ketika memimpin lembaga anti korupsi itu.