REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara Maqdir Ismail menilai seharusnya pemerintah mengajukan gugatan atau penagihan kepada Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) bila dipandang terjadi kekurangan bayar dalam pengembalian utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut Maqdir, kasus BLBI telah menghabiskan tenaga dan pikiran yang sangat menganggu dunia usaha.
"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap periode selalu mempersoalkan kembali perkara ini, bahkan telah menyatakan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka. Lebih baik pemerintah mengajukan gugatan agar Sjamsul membayar kekurangan bila memang dipandang begitu. Dengan demikian masalah menjadi lebih sederhana dan kita tidak menghabiskan seluruh energi untuk kasus ini,” kata Maqdir dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/6).
Maqdir menilai penetapan Sjamsul sebagai tersangka dengan mengaitkannya pada pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) tidak tepat. Karena SKL BLBI sepenuhnya urusan pemerintah.
Dalam proses ini juga tidak terjadi suap menyuap sehingga alasan penetapan tersangka Sjamsul sangat lemah. Maqdir meminta KPK lebih bijak dalam memahami segala keputusan pemerintah di masa lalu, terutama kebijakan yang diambil dalam masa krisis, seperti yang dilakukan dalam penyelesaian BLBI.
Sekiranya KPK menilai ada masalah kekurangan pembayaran, sebaiknya KPK meminta kuasa dari pemerintah untuk menggugat Sjamsul Nursalim secara Perdata sesuai dengan MSAA.
“Ada hal yang tidak bisa dilupakan termasuk oleh KPK, Kejaksaan Agung telah memberikan SP3 atas dugaan adanya perkara korupsi terkait BLBI BDNI,” tegasnya.
Sementara Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, KPK meyakini proses hukum kasus dugaan korupsi SKL BLBI yang menjerat Sjamsul sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Bahkan, KPK memiliki bukti-bukti dugaan korupsi Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim terkait penerbitan SKL BLBI.
Salah satu unsur penting dugaan korupsi itu lantaran keduanya belum melunasi kewajibannya mengembalikan uang negara. KPK mengaitkan SKL yang diterbitkan tahun 2004 dengan misrepresentasi yang diduga dilakukan Sjamsul dan istrinya atas utang petambak pada 1998 saat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). Diduga misrepresentasi menguntungkan atau memperkaya Sjamsul serta istri sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
"Dalam proses penyidikan yang kami lakukan penyidikan bahkan diuji dalam persidangan ternyata masih ada kerugian negara Rp 4,58 triliun. Artinya, belum semua kewajiban diselesaikan sehingga kami punya tanggung jawab sesuai dengan bukti-bukti yang ada agar seluruh uang yang seharusnya diterima oleh negara tersebut itu kembali lagi ke keuangan negara dan jumlahnya kan cukup signifikan 4,58 triliun," ucap Febri
Diketahui, KPK telah menetapkan Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI. Penetapan ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung yang telah dijatuhi hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsidertiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.
Dalam kasus ini, Sjamsul dan Itjih diduga diperkaya atau diuntungkan sebesar Rp 4,58 triliun. Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Sjamsul dan Itjih disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.