REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengemukakan pengaturan dan penempatan hunian sementara atau tempat pengungsian korban bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu, Sigi dan Donggala yang kurang tepat dan tidak representatif gender dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
"Pengaturan tempat pengungsian yang kurang tepat dapat meningkatkan resiko terjadinya kekerasan seksual," kata Longki Djanggola dalam sambutannya pada rapat koordinasi perlindungan perempuan dan anak dalam bencana, yang di bacakan oleh Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum, Norma Mardjanu, di Palu, Selasa (18/6).
Ia mengatakan pengaturan tenda, huntara, toilet dan kamar mandi, serta fasilitas lainnya di pengungsian yang kurang aman, dapat memancing terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, kekerasan juga dapat terjadi, kata dia, dikarenakan mekanisme distribusi bantuan yang tidak memperhatikan kelompok rentan dan lain-lain.
Longki mengatakan terkait kondisi itu dibutuhkan pendekatan multisektoral untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.
Dalam situasi bencana, resiko kekerasan berbasis gender akan meningkat disebabkan beberapa faktor, seperti sistem perlindungan sosial yang terganggu, keluarga yang terpisah, lemahnya aturan keamanan dan keselamatan khususnya pada shelter yang rentan terjadinya konflik di pengungsian.
Ia menyebut klaster perlindungan hak perempuan dan anak berbasis gender di pengungsian perlu di bentuk, untuk memastikan upaya pencegahan dan penanganan dapat di laksanakan dalam situasi bencana di pengungsian.
Klaster ini sebagai tindak lanjut dari klaster nasional yang di dalamnya terdapat delapan klaster dalam bencana meliputi, pendidikan, kesehatan, pencarian dan penyelamatan, logistik dan peralatan, pengungsian dan perlindungan, sarana dan prasarana, ekonomi, dan pemulihan dini.