REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah berkomitmen menyelesaikan konflik agraria di berbagai daerah. Berbagai skema penyelesaian, sesuai peraturan perundangan juga telah dijalankan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan laporan konflik penguasaan tanah dalam kawasan hutan tercatat masuk ke KLHK sebanyak 320 kasus. Di antaranya telah diselesaikan dengan mediasi sebanyak 45 kasus dan telah mencapai kesepakatan dalam bentuk kerja sama sebanyak 39 kasus.
Sebanyak 131 kasus sedang dalam analisis dan penyelesaian. Sedangkan sebanyak 105 kasus belum lengkap berkas atau dokumennya. “Berdasarkan data yang ada maka jumlah kasus terbanyak masuk dari Sumatra yaitu 201 kasus. Selanjutnya dari Kalimantan 47 kasus serta 43 kasus dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara,” paparnya dalam keterangan tertulis pada Jumat (14/6).
Siti Nurbaya juga menjelaskan konflik di dalam dan luar kawasan hutan yang melibatkan instansi pemerintah, BUMN, dan swasta. Sebagian akan dapat diselesaikan dalam jangka pendek.
Pihaknya sudah menyiapkan sejumlah skenario penyelesaian konflik ini. Untuk konflik tenurial, KLHK melalui penyelesaian yang diatur dengan PP ataupun Peraturan Menteri. Pengaturan itu dengan cara perubahan batas kawasan hutan dalam proses pengukuhan kawasan hutan sesuai PP 44 tahun 2004 dan Permen LHK Nomor P.44 tahun 2012.
Cara lainnya adalah dengan perubahan batas kawasan hutan melalui pelepasan kawasan hutan/TORA), tukar menukar kawasan hutan. Bisa juga dengan resettlement dan perhutanan sosial sesuai Perpres Nomor 88 tahun 2018 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
Penyelesaian konflik agraria juga ditempuh dengan merujuk kepada Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2018 tentang pedoman pelaksanaan tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Peraturan lainnya adalah Permen LHK Nomor P.17 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk sumber TORA.
Selain itu dapat dilakukan dengan cara pemberian izin penggunaan kawasan/izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pemukiman non komersil. Namun hal ini tidak termasuk di areal hutan konservasi. Mekanismenya harus tetap sesuai dengan ketentuan UU 41/1999 dan UU 18/2013.
Menteri Siti Nurbaya melaporkan mekanisme penyelesaikan konflik lahan ini pada rapat tingkat menteri di Kantor Kepala Staf Kepresidenan beberapa waktu lalu. Rapat itu dipimpin langsung oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan dihadiri oleh Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dan beberapa pejabat Eselon I yang mewakili sejumlah kementerian dan lembaga negara
Posisi reforma agraria
Seekor Blekok Sawah (Ardeola speciosa) hinggap di dahan pohon mangrove di kawasan hutan mangrove Kampung Laut, Cilacap, Jateng, Rabu (10/4/2019).
Menteri Siti menjelaskan, dalam kawasan hutan redistribusi lahan berasal dari dua kelompok sumber lahan. Yaitu sumber lahan hutan yang sudah dihuni atau sudah menjadi garapan atau wilayah transmigrasi.
“Ini telah diproses dengan Perpres 88 Tahun 2017. Serta telah diselesaikan, diolah bersama pemerintah daerah. Untuk didistribusikan dengan peran pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten. Ini sudah dilaksanakan seperti di Sijunjung Sumatera Barat,” ujar Siti.
Progresnya saat ini telah mencapai sebanyak 820.113 hektare yang diteliti dalam tim inventarisasi dan verifikasi yang dipimpin oleh Kemenko Perekonomian. Sumber lainnya adalah kawasan hutan yang dapat dikonversi dan dinilai sudah tidak produktif atau tutupan hutan yang tipis dan diperkirakan merupakan potensi konflik juga. Realisasinya sudah dalam bentuk pencadangan SK bagi 21 Gubernur seluas 938.878 hektare.
Langkah selanjutnya
Menteri KLHK Siti Nurbaya
Menteri Siti menjelaskan reforma agraria dari kawasan hutan membutuhkan rencana usaha hutan. Hal itu meliputi identitas pemohon selaku penanggung jawab dengan daftar subjek penerima TORA. Kemudian dilengkapi dengan Nomor Induk Kependudukan dan salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Juga pendistribusian untuk program pemanfaatan kawasan hutan bagi program pembangunan nasional dan daerah, pengembangan wilayah terpadu (area development), pertanian tanaman pangan (irigasi, reklamasi rawa); perkebunan rakyat, perikanan, peternakan, ekowisata, wisata konservasi, agrowisata, dan sentra industri kecil/ lingkungan industri kecil. Lainnya adalah fasilitas pendukung budidaya pertanian, pemukiman, pusat pemerintahan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Penyiapan ini oleh pemerintah daerah atau instansi atau individu pemohon diperlukan untuk memperoleh lahan yang dilepaskan dari hutan.
Instrumen lain yang penting papar Menteri Siti, ialah identifikasi dan penetapan hutan adat. Dengan cara ini diproyeksikan terdapat 6.551.305 hektare potensi hutan adat yang diperoleh dari data partisipatif para aktivis. Kemudian diteliti bersama KLHK untuk ditetapkan menjadi hutan adat.
Hal ini membutuhkan dasar hukum identitas masyarakat hukum adat dengan peraturan daerah. Terobosan yang dilakukan adalah dengan cara menetapkan hutan adat yang sudah dilengkapi dasar perda serta sekaligus menegaskan wilayah indikatif hutan adat yang sudah diverifikasi dengan keputusan menteri. “Ini perlu untuk kepentingan kekuatan hukum bagi masyarakat dan agar tidak lagi diganggu atau untuk kepentingan lain, sehingga masyarakat bisa merasa aman,” ujarnya.