Rabu 12 Jun 2019 17:09 WIB

Disdukcapil Sebut Tren Warga Keluar DKI Jakarta Naik

Disdukcapil sebut tren warga yang keluar dari DKI meningkat dua tahun terakhir

Rep: Mimi Kartika/ Red: Christiyaningsih
Suasana permukiman padat di Kawasan Kota Jakarta, Senin (15/1).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Suasana permukiman padat di Kawasan Kota Jakarta, Senin (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Disdukcapil Dhany Sukma mengatakan tren warga yang keluar dari DKI meningkat dua tahun terakhir. Sedangkan penduduk kategori permanen atau yang berniat menetap di Jakarta trennya menurun. Ia menyebut sekitar 174 ribu orang keluar Jakarta pada 2018 atau meningkat dari 2017 sebanyak 145 ribu orang.

"Artinya yang keluar itu lebih banyak, itu tren dua tahun terakhir," kata Dhany di Balai Kota, Senin (11/6).

Baca Juga

Berdasarkan data Disdukcapil, terdapat 16.383,77 jiwa per kilometer persegi yang menempati wilayah DKI seluas 662,3389 kilometer persegi termasuk Kepulauan Seribu. Per Desember 2018, total warga DKI Jakarta sebanyak 10.851.607 jiwa. Sebanyak 5.462 jiwa di antaranya merupakan warga negara asing (WNA).

Pada 2016 jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 10.309.310 jiwa. Setahun berikutnya pada 2017 jumlahnya meningkat jadi 10.348.570 jiwa.

Pengamat tata kota Nirwono Joga menilai banyak warga DKI yang keluar berpindah ke daerah pinggiran Jakarta karena ketidakmampuan untuk tinggal di Ibu Kota. Mereka pindah antara lain ke Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

"Itu lebih karena ketidakmampuannya untuk hidup tinggal di Jakarta yang semakin mahal sehingga mereka ‘terpaksa’ minggir ke Bodetabek," kata Nirwono kepada Republika, Rabu (12/6).

Walaupun tinggal di luar tetapi mereka tetap menghabiskan waktu di Jakarta untuk bekerja. Rumah di Bodetabek sekadar tempat istirahat atau tidur yang dinilai Nirwono tidak sehat untuk kota dan warganya.

Hal itu terlihat dari sepinya suatu wilayah saat akhir pekan atau hari libur bekerja. Sementara, kemacetan justru terjadi di pinggiran Jakarta untuk berwisata ataupun meramaikan pusat perbelanjaan.

"Perhatikan pada akhir pekan Sabtu-Ahad pusat-pusat permukiman seperti Tebet, Kebayoran Baru, Slipi, Grogol sudah mulai terlihat sepi tidak ada kegiatan atau kehidupan warga," tutur Nirwono.

Kondisi itu terjadi karena permukiman tersebut telah mulai banyak berubah menjadi perkantoran dan area komersial seperti kafe, restoran, atau kos-kosan. Untuk itu, kata dia, Pemprov DKI harus mendorong pertumbuhan pusat ekonomi di luar Jakarta secara berlapis.

Nirwono menjelaskan sektor usaha yang tidak layak lagi perlu dipindahkan ke luar Jakarta. Termasuk industri yang mencemari lingkungan harus ditutup. Pemprov DKI harus fokus mengembangkan kota melalui industri kreatif, pelayanan jasa, dan wisata.

"Jakarta tetap menjadi magnet ekonomi seperti sekarang, maka yang akan terjadi pengembangan Jabodetabek semakin melebar, penataan ruang tidak terkendali, warga terpaksa tinggal di pinggiran atau luar kota," jelas dia.

Akibatnya, kemacetan tetap akan terus bertambah parah di jalanan Ibu Kota. Sebab, masyarakat akan beraktivitas di Jakarta dengan membawa kendaraan pribadi masing-masing.

Apalagi, kata dia, ditambah dengan pembangunan jalan tol yang makin memancing orang membawa kendaran pribadi. Padahal persoalan lingkungan juga bertambah dengan pasokan air bersih yang terbatas, penyusutan daerah hijau, banjir, dan peningkatan pencemaran udara.

"Semakin menjauh dari Jakarta tetapi tetap bekerja dan menghabiskan uang dan waktunya di Jakarta, akibatnya kemacetan akan terus bertambah parah," ungkap Nirwono.

Sehingga, ia menambahkan, urbanisasi harus dikelola agar memberi dampak maksimal baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Diantaranya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian alam.

Untuk itu, mengelola urbanisasi secara berkelanjutan bukanlah pilihan yang bisa dilakukan Pemprov DKI. Melainkan sesuatu yang menjadi keharusan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement