Rabu 29 May 2019 01:04 WIB

Menyudahi Cebong dan Kampret

Pintu dialog harus dibuka selebar-lebarnya untuk menengahi perbedaan.

Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika
Foto: Republika
Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Sudah lebih dari sebulan pascapemilu digelar pada 17 April lalu, namun ketegangan politik belum juga reda. Pun pascapenetapan hasil pemilihan umum riak-riak perpecahan antarkubu yang bertarung dalam pemilu masih cukup lebar.

Istilah Cebong dan Kampret masih berseliweran di media sosial. Bong, sapaan akrabnya, mewakili pendukung Jokowi. Sementara Kampret merepresentasikan suporter Prabowo.

Alih-alih mereda, pertarungan politik yang sejatinya berjalan demokratis berakhir dengan kericuhan. Delapan orang meninggal, tanpa tahu siapa yang melakukannya. Aparatkah? Atau ada pihak ketiga yang membonceng aksi massa pada 21-22 Mei seperti diungkap oleh polisi. 

Tak hanya korban jiwa, kerugian secara ekonomi, juga cukup besar. Pasar Tanah Abang, sebagai pusat grosir terbesar di Indonesia tak bisa beroperasi, kantor-kantor diliburkan dan beragam aktivitas ekonomi lainnya terganggu.

Kericuhan telah menimbulkan trauma mendalam bagi warga, terutama publik Jakarta yang pernah diguncang kerusuhan hebat pada 1998. Mereka tentu tak ingin peristiwa serupa terulang.

Pertanyaannya sampai kapan riak-riak politik akan berakhir? Mungkinkah setelah putusan MK akan berhenti? Atau terus berlangsung sampai 2024?

Jika kita lihat, benih-benih segregasi sosial di akar rumput tumbuh dengan subur. Berita-berita hoaks di media sosial beredar dengan luas dan menyemai bibit-bibit konflik.

Berita hoaks seolah telah menggantikan berita-berita  media arus utama. Peredarannya dengan cepat dari satu grup Whatsapp ke grup yang lain, dari Facebook hingga Twitter maupun Instagram. Kecepatan jari jauh lebih cepat dari kecepatan otak.

Tak jarang ditambahi tagar-tagar untuk menjadikannya viral. Ulah para buzzer memperparah situasi. Mereka menyebarkannya ke berbagai platform medsos, membuat meme-meme, dan mengomentari suatu isu untuk mengompori netizen.

Wajar jika Buya Syafi'i Maarif pernah menyebut, medsos kini telah dikuasai oleh orang-orang 'tak waras' dan 'sumbu pendek'.

Berita-berita yang ada di media arus utama dipilah-pilih dan dibagikan sesuai dengan jalan di pikiran masing-masing. Bahkan, untuk membenarkan narasi itu, situs abal-abal yang tak jelas latar belakangnya dikutip. Dibumbu-bumbui cerita-cerita yang jauh dari kebenaran dan fakta. 

Semua hanya untuk memuaskan jalan pikiran dan memperkuat kebenaran kelompoknya masing-masing.

Elite-elite politik ikut menjadi kompor. Mereka mendorong distrust atau ketidakpercayaan sesama anak bangsa. Opini dan narasi yang dibangun bukan untuk menenangkan, melainkan memicu kekhawatiran. Opini itu terus disampaikan berulang-berulang. Berita bohong pun menjadi sebuah fakta.

A menjadi tidak percaya dengan B. Begitupula sebaliknya B menaruh curiga terhadap A. Tidak ada ruang kepercayaan yang tersisa. Belum lagi kecurigaan terhadap penegakan hukum yang dianggap berat sebelah. Hukum hanya berlaku untuk pendukung A, tapi tidak untuk B.

Ruang-ruang ketidakpercayaan ini tidak bisa kita teruskan berlarut-larut. Karena jika dibiarkan, jurang perpecahan akan semakin lebar dan bisa mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pintu dialog perlu dibuka selebar-lebarnya. Elite-elite politik harus memberikan contoh. Menghentikan statemen-statemen bernada provokasi.

Berangkulan satu sama lain, duduk bersama sebagai simbol terajutnya kembali persatuan dan kesatuan. Tak perlu sungkan bagi Jokowi untuk menghubungi Prabowo, ataupun sebaliknya.

Alim ulama membantu dengan ceramah-ceramah menyejukan tentang indahnya kebersamaan dan persatuan bangsa. 

Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus memastikan bahwa hukum tidak berat sebelah. Bahwa semua orang sama di mata hukum. Aparat tidak menggunakan pasal mengada-ngada untuk menciduk seseorang.

Hukum harus dikedepankan. Tidak boleh "Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas" atau "Tajam ke Kanan, Tumpul ke Kiri" dan sebaliknya. Usut tuntas kericuhan pada 22 Mei.

Soal tudingan kecurangan Pemilu, alangkah baiknya kita serahkan semua ke Mahkamah Konstitusi. Apakah benar terjadi kecurangan sistematis ataukah tidak. Semua keputusan MK harus kita hormati, tanpa harus ditambah-tambahi bumbu-bumbu provokasi.

Beberapa waktu lalu Presiden ke-3 Indonesia BJ Habibie menegaskan, bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sudah harga mati dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Pemimpin yang terpilih tidak memimpin untuk pemilihnya, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia.

  

Mari kita belajar dari Soekarno dan Natsir. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Editor pada 20 Februari 1993, Natsir mengaku ia dan teman-teman sebayanya sangat mengagumi Bung Karno yang dikenal sebagai pemimpin pergerakan. Cara Sukarno berpidato mampu membangkitkan semangat perjuangan.

Akan tetapi, lambat laun antara Natsir dan kawan-kawan yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) dengan Sukarno ada perbedaan pendapat sangat tajam.  Bung Karno tidak mau membawa agama di dalam perjuangannya. Sukarno menganggap cukup dengan nasionalisme saja karena kalau membawa-bawa agama akan bercerai-berai.

Berbeda dengan Sukarno, Natsir berpendapat untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat. Meskipun demikian, Natsir mengatakan, “kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat.”

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement