REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR-RI didesak untuk membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) terkait aksi massa yang terjadi pada sekitar 22 Mei 2019. Tim demikian dinilai perlu dibentuk karena adanya korban jiwa dalam konteks kejadian tersebut.
Untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan adil dan terbuka, Alumni LBH YLBHI untuk HAM & Demokrasi mendesak DPR untuk segera membentuk TGPF. Adanya TGPF yang independen dan terbuka dinilai sangat membantu dalam mengungkapkan fakta dan kebenaran tentang siapa saja korban jiwa dan apa penyebab kematian mereka.
"Tim Gabungan harus melibatkan perwakilan masyarakat sipil," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar sebagai salah satu penandatangan pernyataan Alumni LBH YLBHI untuk HAM & Demokrasi, Ahad (26/5).
DPR diminta merekomendasi sanksi tegas kepada pihak yang bertanggung jawab, dan aparat yang diduga menggunakan peluru tajam setta melakukan tindakan kekerasan dalam proses pengamanan aksi massa. Disamping itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juha harus memastikan layanan kesehatan terbaik untuk para korban.
Berdasarkan informasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, jumlah korban terkait aksi massa tersebut bertambah menjadi delapan orang per Kamis (23/5) pukul 11.00 WIB. Sementara, jumlah korban luka-luka bertambah menjadi 730 orang. Mereka sudah atau sedang dalam penanganan medis.
Mereka yang mendapatkan pelayanan kesehatan adalah korban usia 20-29 tahun ada 294 orang. Lalu usia dibawah 19 tahun ada 170 orang. Akibat dari aksi demonstrasi tersebut juga telah menimbulkan banyak kerugian akibat kerusakan fasilitas umum dan fasilitas pribadi masyarakat serta terganggunya layanan warga selama aksi berlangsung.
"Dan yang juga perlu diperhatikan adalah korban pada aparat selama mengamankan aksi massa," kata Abdul Fickar.