Jumat 24 May 2019 19:02 WIB

MK Telah Terima 324 Permohonan Gugatan Sengketa Pemilu

Mayoritas permohonan diajukan oleh partai politik.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Pengunjung melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (23/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (23/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 324 permohonan gugatan sengketa hasil pemilu hingga Jumat (24/5) pukul 15.00 WIB. Mayoritas permohonan diajukan oleh partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) DPR.

"Sekarang ini masuk 324 permohonan terdiri atas 315 diajukan parpol/caleg dan sembilan diajukan calon anggota DPD," ujar juru bicara MK, Fajar Laksono, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jumat (24/5).

Data sementara, permohonan gugatan paling banyak berasal dari Provinsi Sumatra Utara (Sumut), yakni sebanyak 23 permohonan. Di bawah Sumut, ada Jawa Barat (Jabar) sebanyak 21 permohonan. Kemudian terbanyak ketiga berasal dari Papua dengan 18 permohonan. "Angka terus bergerak," ujar Fajar.

Di samping itu, MK telah menetapkan tiga panel hakim konstitusi yang akan memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan legislatif di MK. Masing-masing panel terdiri dari hakim konstitusi yang merupakan keterwakilan dari Mahkamah Agung, Pemerintah, dan DPR.

Panel pertama diketuai oleh Ketua MK Hakim Konstitusi Anwar Usman, dengan anggota Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Anwar merupakan hakim konstitusi dengan lembaga pengusul MA, sementara Enny diusulkan oleh Presiden (pemerintah), Arief diusulkan oleh DPR.

Kemudian, panel kedua diketuai oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan anggota Saldi Isra, dan Manahan MP Sitompul. Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR, sementara Saldi diusulkan oleh Presiden, dan Manahan diusulkan oleh MA.

Panel ketiga diketuai oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan anggota Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. Palguna merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh Presiden. Sementara Suhartoyo diusulkan oleh MA dan Wahiduddin diusulkan oleh DPR.

"Setiap hakim tidak boleh mengadili perkara sengketa pemilu legislatif yang berasal dari daerahnya, untuk menghindari konflik kepentingan," kata Fajar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement