REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Koordinator Poltik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai, ancaman terorisme yang disebut kepolisian berpotensi menunggangi aksi protes hasil 22 Mei 2019 atau people power bernuansa politis. Menurut dia, ancaman bom itu diumumkan polisi untuk menakut-nakuti peserta aksi.
"Masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta. Menurut saya, ini sudah kelewatan," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Ahad (19/5).
Kebebasan berpendapat dalam memprotes hasil pemilu, kata Fadli justru diintimidasi oleh kepolisian, bahkan sejumlah menteri. Seharusnya, kata Fadli, aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional.
"Bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan melindungi dan mengayomi," kata politikus Gerindra itu.
Fadli mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi. Menurut Fadli, ini untuk mencegah Indonesia tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara, memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat.
"Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim. Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik. Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini," kata Fadli.
Karena itu, lanjut Fadli, menjelang rekapitulasi nasional Pemilu 2019, Fadli meminta Pemerintah, juga aparat kepolisian, tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat. People power itu, menurut dia, merupakan bagian dari demokrasi.
"Biasa-biasa saja. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali, kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian," kata politikus Gerindra itu menambahkan.