Rabu 15 May 2019 13:56 WIB

Dua Sikap BPN: Tolak Penghitungan Pilpres Tapi Terima Pileg

BPN menilai kecurangan di pileg dan pilpres berbeda.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Muhammad Hafil
Sejumlah Tim relawan BPN (Badan Pemenangan Nasional) bersama Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno saat melakukan pengungkapan fakta-fakta kecurangan pilpres 2019 di Jakarta Pusat, Selasa (14/5).
Foto: Fakhri Hermansyah
Sejumlah Tim relawan BPN (Badan Pemenangan Nasional) bersama Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno saat melakukan pengungkapan fakta-fakta kecurangan pilpres 2019 di Jakarta Pusat, Selasa (14/5).

REPUBLIKA.CO.ID,PURWAKARTA -- Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi mengaku prihatin dengan sikap kubu paslon 02 Prabowo-Sandiaga Uno. Pasalnya, kubu paslon 02 itu menolak hasil penghitungan Pilpres 2019. Dengan begitu, kubu tersebut juga seharusnya menolak perolehan suara pada pemilihan legislatif.

"Pemilu 2019 itu, dilaksanakan satu paket kegiatan yang dipertanggungjawabkan oleh lembaga penyelenggara bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari pusat, provinsi hingga tingkat KPPS," ujar Dedi, kepada Republika.co.id, Rabu (15/5).

Baca Juga

Pengawasannya juga, dilakukan dari pusat, provinsi, kabupaten, sampai tingkat kecamatan serta tingkat kelurahan dan desa. Jadi, ketika hasil pemilu itu dianggap curang, maka pemahaman itu berlaku paralel.

Yakni, berlaku satu paket bagi pemilihan presiden, DPD, DPR RI hingga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga, pengakuan atau penolakan terhadap hasil pemilu (pilpres), berarti penolakan juga terhadap satu paket kegiatan tersebut.

"Bukan hanya penolakan terhadap hasil pilpres saja, tetapi juga hasil pemilihan DPD dan anggota legislatif dari pusat sampai daerah. Berarti konsekuensinya menolak hasil pileg di berbagai daerah," ujarnya.

Menurut Dedi, kalau yang ditolaknya hanya pemilihan presiden, sedangkan pemilihan legislatif diterima, maka itu disebut ambivalen dan membingungkan. Ibaratnya, pemilu itu seperti sambal. Bahannya, ada gula, cabai, garam dan terasi sudah diulek itu namanya sambal.

Jadi, lanjutnya, kalau dikatakan terasinya tidak enak, berarti itu sambal memang tidak enak. Kalau menganggap pemilu curang, berarti pileg juga curang. Bila pileg curang, berarti mereka yang mengalami peningkatan suara legislatif hari ini diperoleh dari hasil kecurangan.

"Kan itu konsekuensinya itu," ujar Dedi.

Akan tetapi, lanjut Dedi, kubu paslon 02 ini sangat membingungkan. Satu sisi menolak pilpres. Sisi lain, menerima hasil pileg. Karena, pada pileg 2019 ini, perolehan suara partai pengusung kubu 02 mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

"Saat KPU mengesahkan hasil pileg, maka semuanya bahagia. Bahkan, banyak yang sudah syukuran. Tapi giliran pilpres menolak. Ya, nggak bisa. Harus konsisten dong. Kalau menolak pilpres, ya menolak pileg juga. Tidak bisa sepotong-sepotong," ujar Ketua TKD Jokowi-Amin ini.

Dedi mengatakan, dalam pemilu itu terdapat aspek logis. Yaitu, calon presiden memiliki dampak elektoral terhadap partai pengusung. Misalnya, di daerah ketika Jokowi-Ma'ruf menang, maka suara PDI-P mengalami kemenangan.

photo
Tim relawan BPN (Badan Pemenangan Nasional) menampilkan hasil perolehan suara Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno pada penghitungan pilpres 2019 di Jakarta Pusat, Selasa (14/5).

Hal itu, sebelumnya sudah dipresdiksi oleh riset yang diumumkan lembaga survei. Ada efek elektoral yang akan ditimbulkan pilpres. Yang paling mendapat dongkrakan suara, yaitu PDI-P dan PKB. Sementara Golkar hanya bisa bertahan. Pihaknya, menerima itu sebagai sebuah konsekuensi dalam berpolitik.

Lalu di daerah di mana Prabowo-Sandi menang, maka yang menikmati efek elektoralnya, yakni Gerindra, PKS, dan juga PAN. Setidaknya, PAN bisa lolos melampau ambang batas dalam Pemilu 2019. Dari situ sudah jelas bahwa aspek riset itu terbukti dalam fakta-fakta politik.

"Pak Prabowo memang dalam hitungan pilpres, sampai hari ini tidak berhasil, tapi partainya mengalami peningkatan yang signfikan," ujarnya. 

Terkait hal itu, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandi lebih menerima hasil pileg daripada pilpres. Dugaan kecurangan pada Pilpres dinilai lebih terstruktur, masif dan sistematis.

Juru Kampanye Nasional BPN Prabowo-Sandi, Muhammad Syafii menilai, tidak menutup kemungkinan terjadi kecurangan pada pileg. Namun, kata dia, pilpres yang curang lebih bisa dipastikan. "Jadi bedakan ya, tidak tertutup kemungkinan terjadi kecurangan pemilu di pileg tapi pemilu curangnya itu hampir pasti terjadi di pilpres," ujarnya.

Syafii merespons kritik TKN Jokowi-Ma'ruf yang menyatakan, BPN seharusnya juga menerima hasil Pilpres bila menganggap Pilpres curang. Salah satu yang disoal dalam dugaan kecurangan adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). DPT digunakan untuk Pileg dan Pilpres.

Namun, BPN menegaskan, penyelidikan kecurangan dilakukan terpisah antara Pilpres dan Pileg. Tim BPN di lapangan, katq Syafii, yang didesain untuk curang adalah Pilpres. Sementara di pileg, Syafii menyebut kecurangan bisa saja terjadi, namun tidak masif.

BPN akan terus memvalidasi data dugaan kecurangan pemilu. Hal ini akan menjadi dasar hukum untuk menguatkan argumentasi BPN terkait pemilu curang itu."Sehingga dengan data dan fakta yang kami miliki kami kemudian bersikap untuk tidak menerima hasil pemilu itu," kata Syafii.

Sebelumnya, BPN Prabowo-Sandi menyatakan sikapnya terkait segala bentuk dugaan kecurangan yang ditemukan oleh BPN. Ketua BPN Prabowo-Sandi, Djoko Santoso menegaskan, BPN akan menolak hasil penghitungan KPU.

"Kami Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga bersama-sama rakyat Indonesia yang sadar demokrasi, menolak hasil perhitungan suara dari KPU RI yang sedang berjalan," kata Djoko, Selasa (14/5).

Djoko menjelaskan bahwa beberapa waktu yang lalu, BPN telah mengirimkan surat kepada KPU dengan nomor surat 087/bpn/ps/v/2019 tertanggal 1 Mei 2019 tentang audit terhadap IT KPU. Dalam surat tersebut BPN juga meminta dan mendesak KPU untuk menghentikan sistem perhitungan suara di KPU.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement