Rabu 15 May 2019 07:07 WIB

Meletakkan Makar dengan Tepat

Sejumlah tokoh dituding melakukan tindakan makar.

Rep: Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro/ Red: Elba Damhuri
Eggi Sudjana (kemeja putih) saat tiba di Polda Metro Jaya, Senin (13/5), untuk diperiksa sebagai tersangka dugaan kasus makar.
Foto: Republika/Flori Sidebang
Eggi Sudjana (kemeja putih) saat tiba di Polda Metro Jaya, Senin (13/5), untuk diperiksa sebagai tersangka dugaan kasus makar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, meminta polisi berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menggunakan istilah makar. YLBHI menganggap penggunaan istilah itu tidak tepat dan bertentangan dengan substansi hukum.

Menurut Asfinawati, demokrasi di Indonesia sedang dalam bahaya. Salah satu indikasinya adalah pengenaan pasal makar terhadap lawan pemerintah alias oposisi. Dia menilai terdapat 11 tanda negara hukum Indonesia kini sedang terancam oleh kebijakan pemerintah saat ini.

“Penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan jadi salah satu poin pemerintah (berperilaku) membahayakan demokrasi,” kata dia di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (14/5).

Asfinawati mengatakan, pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterjemahkan sebagai makar dalam bahasa Belanda tertulis aanslag. Kata itu, menurut dia, bermakna 'serangan yang berarti ditujukan pada kepala negara'.

“Artinya, apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka belum dapat dikatakan makar,” ujar dia.

YLBHI menyayangkan pihak kepolisian yang menggunakan pasal makar untuk menjerat beberapa pihak. Dia menilai hal ini menjadi pertanda bahwa seolah setiap lawan pemerintah harus diganjar dengan pasal makar. Padahal, menurut Asfinawati, pihak yang dianggap melawan pemerintah hanya mengutarakan kritik terhadap pemerintah.

“Kalau ada pelanggaran hukum ya pakai pelanggaran hukum yang ada. Kalau tidak ada ya dibebaskan. Tapi, jangan sampai menggunakan pasal makar sembarangan,” ujar dia.

Asfinawati mengatakan, ada 11 indikasi terancamnya negara hukum Indonesia yang disebabkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kesebelas indikasi itu di antaranya SK Menko Polhukam Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum; penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan; serta pemerintah setuju memasukkan pasal makar, penghinaan presiden, dan penodaan agama dalam rancangan KUHP.

Menurut Asfinawati, negara hukum ditandai dengan supremasi hukum, hak untuk diproses lewat peradilan, dan tidak dijatuhi hukuman secara sewenang-wenang. Sebelas indikasi tersebut justru mengarah pada penghambatan kebebasan sipil untuk berpikir, berkumpul, atau berkeyakinan.

Dari 11 tanda terancamnya negara hukum Indonesia itu, YLBHI menyatakan tiga sikap. Pertama, YLBHI mengingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintah terikat pada konstitusi. Kedua, YLBHI meminta kebijakan-kebijakan yang tak sesuai dengan hukum dan rule of law dicabut dan segera dihentikan.

“Ketiga, YLBHI meminta agar kebijakan-kebijakan yang melawan hukum, bertentangan dengan rule of law, dan merusak demokrasi agar tidak lagi dikeluarkan,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement