REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan pihaknya akan melakukan autopsi verbal untuk mengungkap penyebab kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kemenkes akan bekerja sama dengan tim independen, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut.
"Untuk yang meninggal di luar rumah sakit akan dilakukan autopsi verbal," ujar Nila di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (14/5).
Nila menjelaskan, autopsi verbal berbeda dengan autopsi forensik. Autopsi verbal dilakukan untuk mencari tahu penyebab kematian melalui wawancara dengan anggota keluarga. Menurut Nila, akurasi autopsi verbal mencapai 80 persen.
"Artinya, kasus yang meninggal kita bandingkan dengan yang sama beban umurnya. Kita bisa melihat apa yang menjadi penyebab meninggalnya, dibandingkan yang adanya penyakit dengan yang tidak ada penyakit," jelasnya.
Selain melakukan autopsi verbal, Kemenkes juga menginstruksikan agar dilakukan audit medik, yakni mendata kematian yang terjadi di rumah sakit. Sebanyak 39 persen kasus meninggalnya para petugas pemilu ini terjadi di rumah sakit. Menurutnya, hingga saat ini data yang terkumpul pun baru berasal dari 25 provinsi.
"Terbanyak kesakitan di Jakarta dan Banten. Kematian terbanyak di Jabar, diikuti Jatim, Jateng. Tidak ada kematian di Maluku Utara," tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Tri Hesti Widyastoeti menyampaikan autopsi verbal berperan dalam investigasi atas kematian seseorang. Menurutnya, Kemenkes pun telah menginstruksikan agar pendataan petugas yang meninggal dipercepat. Para petugas di daerah juga telah diminta untuk segera melakukan autopsi verbal.
Sementara itu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyatakan autopsi verbal yang dilakukan oleh pemerintah melalui dinas kesehatan provinsi dalam menentukan penyebab kematian petugas KPPS kurang tepat. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengatakan, metode autopsi verbal disebut tidak memiliki keakuratan yang tinggi dalam menentukan penyebab kematian seseorang.
Autopsi verbal adalah suatu metode untuk mengetahui penyebab kematian melalui wawancara dengan anggota keluarga mengenai tanda-tanda dan gejala-gejala yang muncul sebelum seseorang meninggal. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah terstandar dan jumlah pertanyaan sebanyak 100 butir.
"Untuk menentukan sebab kematian, autopsi verbal tidak terlalu tinggi tingkat kevalidannya, apalagi didasarkan pada Peraturan Bersama Mendagri dan Menkes yang lebih dimaksudkan sebagai pendekatan administratif pencatatan kependudukan semata, bukan untuk mengungkap sebab akibat kematian yang terjadi secara beruntun dan memiliki implikasi yang luas," kata Daeng di kantor IDI Jakarta, Senin.