Senin 13 May 2019 16:00 WIB

Pencegahan Kekerasan Seksual Jauh Lebih Penting

Peran orangtua di rumah terutama adalah menanamkan nilai-nilai agama.

 Azimah Subagijo, Ketua Umum Perhimpunan MTP
Foto: Foto: Istimewa
Azimah Subagijo, Ketua Umum Perhimpunan MTP

REPUBLIKA.CO.ID, Peluang terjadinya kejahatan seksual di masyarakat, sesungguhnya seperti efek gunung es. Yaitu, yang terungkap jauh lebih sedikit dari kejadian sesungguhnya. Hal ini terutama disebabkan karena kendala jauhnya layanan pengaduan dengan tempat tinggal korban, atau korban dan keluarga masih menganggap kekerasan seksual yang terjadi padanya adalah hal tabu. Selain juga, karena adanya ancaman tindakan kekerasan yang lebih fatal oleh pelaku seperti pembunuhan, bila korban melapor. 

Demikian antaralain diungkapkan oleh Evi Risna Yanti, Senior lawyer Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa  dalam Seminar tentang “Menakar Kekerasan Seksual di Sekitar Kita, Apa yang Harus Kita Lakukan?” yang diselenggarakan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Raya Palapa Baitussalam Pasar Minggu, 12 Mei 2019. Dalam kesempatan tersebut, hadir juga sebagai pembicara Azimah Subagijo, Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi, dan Euis Sunarti, Ketua Pegiat Keluarga (GiGa) Indonesia.

Evi menyampaikan, bahwa tak sedikit korban kekerasan seksual yang menimpa anak-anak hingga sang anak anak hamil, namun korban tidak memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Salah satu kasus yang ia tangani langsung adalah anak yang hamil akibat digauli oleh pamannya sendiri.

Sang Ibu tidak tahu karena ia tiap hari bekerja. Sementara anak sejak usia 8 tahun hingga 14 tahun sudah menjadi korban kekerasan seksual pamannya. Sang anak tidak pernah bercerita karena diancam akan dibunuh oleh pelaku. Hingga suatu hari, anak mengeluh sakit ke ibunya, dan dibawa ke puskesmas, baru diketahui bahwa sang anak sudah mengandung empat bulan.

“Pada saat sang anak diperiksa oleh bidan, ia tidak tahu apa itu hamil dan akibat dari perbuatan seperti apa, hingga terjadi apa yang menimpa dirinya. Namun, setelah bidan menjelaskannya dan memperagakan tindak kekerasan seksual yang kemungkinan terjadi pada diri sang korban, barulah sang anak memahami bahwa itu adalah perbuatan pamannya sejak ia berusia 8 tahun,“ ungkap Evi.

Belum optimalnya penegakan hukum

Selain itu, Evi juga menilai penanganan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual apalagi yang menimpa anak, di beberapa tempat kadang masih belum optimal. Sebut saja misalnya di Kerawang, Jawa Barat. Selama ini, kasus-kasus perkosaan bahkan yang menimpa anak sekalipun hanya diputus oleh pengadilan hukuman penjara 5 tahun.

Padahal, dalam Undang-undang Perlindungan Anak, pelaku bisa dihukum maksimal dan bahkan dengan pemberatan 1/3 nya alias 16 tahun. Untuk itu, saat menangani kasus di Kerawang terhadap anak yang sudah 12 tahun mengalami kekerasan seksual oleh ayahnya sendiri, Evi berjuang agar pelaku mendapat hukuman terberat. 

“Tentu rasanya jauh dari rasa keadilan bagi korban, bila kejahatan yang sudah dilakukan pelaku selama 12 tahun, hanya diganjar hukuman 5 tahun saja. Akhirnya setelah saya dan kawan-kawan melibatkan media massa dan menggalang dukungan dari masyarakat, putusan hakim terhadap pelaku menjadi 12 tahun. Dan ini adalah putusan tertinggi yang pernah dikeluarkan pengadilan di Kerawang pada kasus serupa,” ujar Evi.

Waspada dampak media bermuatan pornografi

Dalam kesempatan yang sama, Azimah Subagijo, Ketua Umum Perhimpunan MTP juga mengingatkan bahwa media juga dapat menjadi sumber terjadinya kekerasan seksual di masyarakat. Hal ini mengingat muatan pornografi di media dapat membuat orang yang melihatnya akan ketagihan dan terdorong untuk melampiaskannya di dunia nyata. Sehingga orang-orang yang kemudian menjadi sasaran pelampiasan hasrat seksual pecandu pornografi ini tidak harus seorang yang berpenampilan cantik atau menarik dan menggoda.

 “Yang perlu diwaspadai, korban kekerasan seksual yang pelakukanya adalah pecandu pornografi, bisa menimpa siapa saja, mulai dari nenek-nenek atau orangtua renta, orang berkebutuhan khusus, termasuk anak-anak bahkan anak-anak kandung sendiri (incest). Hal ini karena pelaku sudah terangsang oleh materi seksual dari pornografi dan tinggal mencari pelampiasannya saja,” ungkap Azimah.

Lebih jauh Azimah mengingatkan, bahwa kekerasan seksual yang pelaku dan korbannya anak-anak, kini juga mulai meningkat dan bahkan sudah mengarah pada perilaku seks menyimpang. Mengingat kini, tak sedikit anak-anak yang menjadi korban kekerasan kemudian juga melampiaskannya kepada teman sebayanya atau anak yang lebih muda. Hal ini bukan hanya pengaruh dari orang-orang dewasa di sekitarnya, namun juga akibat dari intensitas penggunaan media berbasis internet yang sangat tinggi di kalangan anak-anak.

“Kasus belasan anak melakukan kegiatan seks menyimpang yang terjadi akhir bulan lalu di Garut misalnya, terungkap fakta bahwa sebelumnya anak-anak ini menyaksikan adegan seks sesama jenis melalui ponsel di rumah tetangganya. Dan kemudian mereka mempraktekan ke teman/ sebayanya. Bahkan dari 19 orang, hanya 4 orang saja yang benar-benar korban, sementara 15 orang lagi adalah pelaku dan juga korban,” ujar Azimah.

Untuk itu, Azimah berpesan agar orang tua jangan abai terhadap penggunaan ponsel oleh anak-anaknya. Mengingat bila muatan kekerasan dan pornografi yang lebih banyak anak-anak lihat, maka anak-anak potensial akan menirunya di kehidupan sehari-hari. Karena penggunaan ponsel yang kelewat batas, menurut aktivis tolak pornografi ini, terutama dapat berakibat menimbulkan kecanduan dan peniruan, karena anak sulit membedakan antara dunia nyata dengan dunia semu yang ia lihat di ponsel. 

Inti perlindungan anak adalah pencegahan

Sementara itu, Euis Sunarti mengingatkan, akan pentingnya keterlibatan semua pihak untuk ikut serta mencegah terjadinya kekerasan pada anak. Mengingat dampak dari kekerasan pada anak dapat menimbulkan trauma berkepanjangan pada anak sehingga ia tidak menjadi pribadi yang sama apabila ia telah menjadi korban. 

“Inti perlindungan pada anak itu adalah pencegahan. Terutama tiga hal, yaitu mencegah agar seseorang tidak menjadi pelaku, mencegah agar tidak menjadi korban, dan mencegah agar seseorang tidak cuek terhadap kasus-kasus kekerasan di sekitarnya,“ ujar Euis.

Lebih jauh Euis menjelaskan, pencegahan seseorang agar tidak menjadi pelaku dapat dilakukan dengan penguatan nilai agama yang holistik, penguatan norma social dan budaya, dan tentunya penagakan hukum pidana yang dapat menimbulkan efek jera.

“Peran orangtua di rumah terutama adalah menanamkan nilai-nilai agama yang holistic, sementara DKM masjid dapat menjadi mitra orangtua untuk menanamkan nilai agama di lingkungan sekitar anak,” imbuh Euis.

Selain itu, Euis juga mengingatkan mencegah seseorang menjadi korban kekerasan seksual itu juga sangat penting. Selain karena upaya rehabilitasi korban memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang besar, juga dikarenakan banyak kasus, kejahatan seksual yang terjadi tak jarang dilakukan oleh seseorang yang dulunya adalah korban. 

Untuk itu, Euis mendorong juga agar setiap elemen masyarakat harus mengupayakan pencegahan untuk tidak menjadi pihak yang cuek atau tidak peduli terhadap fenomena kekerasan/kejahatan seksual di lingkungannya. “Kembangkanlah terus rasa ingin tahu dan mau peduli terhadap sesama. Terutama dengan ikut melaporkan kepada pihak yang berwenang bila melihat ada kejahatan seksual,” ujar Euis.

Kegiatan Seminar Parenting Ramadhan yang dilakukan oleh DKM Masjid Palapa Baitussalam ini  dihadiri oleh sekitar 80 peserta dari wilayah Jakarta, Depok, Bogor dan Tangerang. Kegiatan ini juga merupakan rangkaian dari kegiatan Nurani Ramadhan 1440 hijriyah DKM Masjid Raya Palapa Baitussalam. Sebelumnya, DKM Masjid Raya Palapa Baitussalam sudah mengadakan pawai obor pada 4 Mei 2019, selama Ramadhan mengadakan penyediaan ta,jil, tarawih, dan selanjutnya akan mengadakan santunan anak yatim dan dhuafa, pengumpulan dan penyaluran ziswaf, bazaar Ramadhan, i’tiqaf, hingga nanti puncaknya pada penyelenggaraan shalat Idul Fitri.1440 H.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement