REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch menyoroti belum maksimalnya tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap terdakwa kasus korupsi dalam persidangan. Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan selama jangka waktu 2016 sampai dengan tahun 2018 dari rata-rata tuntutan lembaga anti rasuah kepada pelaku korupsi adalah selama 5 tahun 7 bulan penjara atau dalam kategori sedang.
"Angka ini tidak terlalu tinggi, karena harusnya bisa lebih tinggi, yakni memungkinkan sampai 20 tahun, tapi ini hanya 67 bulan," ujar Kurnia saat rilis bersama ICW dan Transparency International Indonesia soal evaluasi kinerja KPK periode 2015-2019, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Ahad (12/5).
Menurut Kurnia, pada dasarnya, hakim akan memutuskan sebuah perkara berdasarkan keyakinan dan kepenuhan alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP. Namun, selain itu ia menilai untuk menjatuhkan sebuah putusan hakim juga terikat pada surat dakwaan yang dijadikan landasan yuridis, termasuk tuntutan dari jaksa juga memegang peranan penting.
Ia mengatakan, setidaknya dalam surat tuntutan publik dapat melihat seberapa serius penegak hukum dalam melihat sebuah tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. "KPK harusnya dapat memanfaatkan pasal 52 KUHP yang menjelaskan bahwa bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya pidananya dapat ditambah sepertiga," ujar Kurnia.
Ia menyebutkan, dalam pantauan ICW selama kurun waktu 2016 sampai dengan tahun 2018 KPK telah menghadirkan 269 terdakwa di Persidangan. Jika dilihat dari rata-rata tuntutan, lembaga anti rasuah tersebut menuntut pelaku korupsi selama 5 tahun 7 bulan penjara atau dalam kategori sedang.
Padahal banyak pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hukuman sampai dengan 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup. "Pasti nanti dijawab karena hanya gunakan pasal suap. Itu kategori sedang. Padahal ada faktor pemberat pidana, seharusnya bisa dijadikan pegangan bagi jaksa KPK saat persidangan," ujarnya lagi.
Dalam evaluasi KPK periode ini, Kurnia mengatakan, ICW juga menyoroti disparitas tuntutan yang dilakukan jaksa KPK terhadap terdakwa korupsi. Ia mencontohkan, tuntutan terhadap Anang Basuki, ajudan mantan Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur yang terlibat kasus suap hanya dituntut 1,5 tahun penjara oleh KPK.
Sedangkan Kasman Sangaji, pengacara Saipul Jamil yang juga terlibat kasus suap dituntut maksimal 5 tahun penjara. Padahal kedua terdakwa bersamaan didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Ke depan KPK harus membuat pedoman penuntutan agar meghindari potret disparitas tuntutan," kata Kurnia.
Ia menambahkan, evaluasi penindakan KPK lainya berkaitan dengan tuntutan pidana tambahan yakni pencabutan hak politik kepada terdakwa kasus korupsi. Menurutnya, dalam pantuan ICW dari tahun 2016-2018 KPK setidaknya telah menuntut 88 terdakwa dari dimensi politik, namun hanya menutut 42 terdakwa agar dicabut hak politiknya. "Ini cukup mengecewakan, hanya 42," ujar Kurnia.
Padahal menurutnya, pidana penjara dan pencabutan hak politik memiliki tujuan berbeda, yakni pidana dimaksudkan agar yang
bersangkutan dapat merasakan efek jera atas kejahatan yang dilakukan. Sedangkan pencabutan hak politik dimaksudkan agar yang bersangkutan tidak dapat menduduki jabatan tertentu
"Hal yang patut disesalkan adalah ketika KPK tidak menuntut pencabutan hak politik atas terdakwa Sri Hartini, Bupati Klaten. Alasan yang diutarakan Jaksa saat itu adalah karena tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak diperlukan lagi pencabutan hak politik. Padahal tujuan keduanya sudah jelas berbeda," ujarnya.