REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, mengklarifikasi pernyataannya terkait pembentukan Tim Hukum Nasional. Tim tersebut dibentuk bukan sebagai badan baru, tetapi sebagai tim bantuan di bidang hukum untuk pengendalian masalah hukum dan keamanan nasional.
"Itu bukan tim nasional, tapi tim bantuan di bidang hukum yang akan menyupervisi langkah-langkah koordinasi dari Kemenko Polhukam," ungkap Wiranto di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (7/5).
Tim itu nantinya, kata Wiranto, akan menjadi tim bantuan hukum yang ada di bawah Kemenko Polhukam. Tim yang akan membantu dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, dan pengendalian masalah hukum dan keamanan nasional.
Tim tersebut akan berisi para profesor, doktor, dan pakar hukum dari berbagai universitas dan lembaga. Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk memilah tindakan mana saja yang bisa dan tidak bisa dianggap melanggar hukum.
Wiranto menerangkan, saat ini banyak aktivitas-aktivitas yang seharusnya sudah masuk kategori melanggar hukum dan ditindak tetapi tidak ditindak karena jumlahnya yang begitu banyak. Banyaknya jumlah aktvitas itu mempersulit pemilahan secara singkat mana saja yang melanggar dan tidak melanggar hukum.
"Nah kita butuh tim bantuan itu. Bukan berarti secara formal dan secara organisasi kemudian kita abaikan, tidak. Kita memang ada, pemerintah punya lembaga-lembaga hukum yang sudah formal dalam ketatanegaraan Indonesia kan ada," tuturnya.
Menurut mantan Panglima ABRI ini, tim tersebut akan melihat permasalahan yang ada dari sudut pandang masyarakat, yakni masyarakat intelektual yang memiliki pemahaman terhadap hukum. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga hukum formal lainnya.
"'Ayo, coba Anda nilai sendiri aktivitas masyarakat seperti ini sudah melanggar hukum atau tidak?' Kalau mereka mengatakan, 'Oke Pak, sudah melanggar hukum itu,' Oke kita bertindak. Jadi kita kompromikan (dahulu)," terang dia.
Ia menjelaskan, hukum merupakan kesepakatan kolektif yang dibangun untuk menjaga ketertiban dan keteraturan saat hukum itu dibentuk. Ketika kondisi lingkungan sudah berubah, termasuk di dalamnya teknologi, maka hukum terkadang tidak bisa mengejarnya.
"Maka perlu sekarang ahli-ahli hukum kumpul untuk mencerna langkah-langkah, tindakan apa yang harus dilakukan untuk pelanggar hukum yang sudah menggunakan suatu instrumen baru, yang tidak tercakup dalam hukum dan undang-undang," katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai sangat tidak pas usulan Wiranto tersebut dalam iklim demokrasi. Menurutnya, apabila tim itu benar-benar dibentuk dan diarahkan untuk meredam suara-suara kritis yang sah, maka konsekuensinya jumlah orang yang dituntut secara kriminal dari tahun ke tahun bisa meroket di negara ini.
"Karenanya, Presiden perlu menegur Menko Polhukam dan segera menegaskan bahwa pembentukan tim itu tidak diperlukan," katanya kepada wartawan, Selasa (7/5).
Mantan Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini mengingatkan, pemerintah Indonesia tidak boleh menggunakan tindakan keras terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Pemerintah seharusnya membiarkan seseorang baik warga biasa, aktivis maupun tokoh oposisi untuk mengekspresikan pendapat mereka tentang pemerintah atau tentang lembaga negara.
"Kecuali terhadap hasutan-hasutan untuk berbuat kekerasan maupun ujaran kebencian dengan memanipulasi identitas agama, suku, ras dan asal-usul kebangsaan," katanya.
Sebelumnya pada Senin (6/5), Wiranto mewacanakan Tim Hukum Nasional untuk merespons tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum. Yang kemudian menuai polemik adalah rencana mengkaji dan mengancam pidana para tokoh yang memaki dan mencerca Presiden.
"Tidak bisa dibiarkan rongrongan terhadap negara yang sedang sah, bahkan cercaan, makian, terhadap presiden yang masih sah sampai nanti bulan Oktober tahun ini masih menjadi Presiden. Itu sudah ada hukumnya, ada sanksinya," tutur dia.