REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mengungkapkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 2018 di Ibu Kota meningkat di angka 80,47. Kendati demikian, peningkatan angka IPM itu sedikit mengalami perlambatan pertumbuhan karena tercatat hanya naik 0,41 poin atau 0,51 persen.
Pertumbuhan IPM DKI masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yakni 0,58 persen. Apalagi, pada IPM 2017-2018 cukup jauh berada di bawah rata-rata pertumbuhan IPM 2010-2018 yaitu 0,67 persen per tahun.
"Perlu diketahui bahwa pada tahun 2018, pertumbuhan IPM DKI Jakarta adalah yang paling rendah di antara 34 provinsi di Indonesia. Adapun pertumbuhan IPM secara nasional pada periode tersebut mencapai 0,82 persen," kata Kepala BPS DKI Jakarta Thoman Pardosi, Senin (6/5).
Ia mengatakan, ada tiga dimensi pembentuk IPM, di antaranya umur harapan hidup saat lahir (UHH), harapan lama sekolah (HLS), rata-rata lama sekolah (RLS), dan pengeluaran per kapita disesuaikan. Thoman menyebut ada dimensi yang tumbuh, tetapi mengalami perlambatan yakni HLS dan RLS.
Berdasarkan data, kata dia, terlihat bahwa pertumbuhan kedua komponen tersebut pada tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Pada periode 2017-2018 pertumbuhannya sebesar 0,70 persen dan 0,27 persen, sementara 2016-2017 yakni 1,02 dan 1,29.
Selain itu, Thoman mengatakan, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), angka putus sekolah tingkat SMA periode 2017-2018 di DKI mengalami penurunan sebesar 5,94 persen. Namun, penurunan itu ternyata masih di bawah penurunan angka nasional putus sekolah, yaitu 14,54 persen.
Sementara, untuk sekolah kejuruan atau SMK pada periode yang sama, angka putus sekolah di DKI justru naik sebesar 25,28 persen. Sedangkan secara nasional hanya meningkat 0,88 persen.
Thoman melanjutkan, selain angka putus sekolah, angka partisipasi sekolah (APS) juga dapat digunakan sebagai indikator akses pendidikan. APS kelompok umur 16-18 tahun pada 2018 sebesar 71,81 persen. Secara persentase, peningkatan APS 2018 sebesar 0,43 persen masih lebih rendah dibandingkan peningkatan APS tahun 2017 yang mencapai 0,95 persen.
"Pertumbuhan APS yang melambat serta penurunan angka putus sekolah yang juga melambat, ikut mempengaruhi perlambatan pertumbuhan angka HLS," kata Thoman.
Menurut dia, pembangunan di bidang pendidikan merupakan bentuk investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mengutamakan aspek pemerataan pendapatan. Ia mengatakan, perubahan pada institusi pendidikan dibutuhkan untuk dapat mengejar ketinggalan dari negara maju.
"Penting untuk menjadi perhatian dari berbagai pemangku kepentingan untuk dapat memberikan perhatian yang lebih pada pembangunan di bidang pendidikan," kata dia.
Pengamat pendidikan, Indra Charismiaji, menyebutkan, yang menjadi permasalahan utama pendidikan di DKI Jakarta ialah manajemen pendidikannya itu sendiri. Artinya, kata dia, pengelolaan pendidikan dari mulai penggunaan anggaran, program, penyediaan sarana prasarana sekolah, hingga evaluasi di Ibu Kota harus diperbaiki.
"Kalau kita menyebutnya per kasus banyak, tapi pola utamanya manejemen pendidikan di DKI ini yang tidak beres, yang harus diperbaiki," kata Indra saat dihubungi Republika, Senin.
Ia mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harus menjelaskan APS di Jakarta tak kunjung mencapai 100 persen. Sementara ada program sekolah gratis hingga tingkat SMA/SMK. Ditambah lagi dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Dengan adanya program yang seharusnya memudahkan mengakses pendidikan, justru ada sebagian besar warga Jakarta yang tak sekolah. Untuk itu, kata Indra, perlu juga dilakukan evaluasi terhadap kedua program itu terhadap APS dan kualitas pendidikan di DKI.
"Kenapa sekolah gratis itu tidak mengangkat APS, masih banyak anak Jakarta yang tidak sekolah atau putus sekolah. Padahal, ada sekolah gratis, ada KJP, dan itu kan anggarannya tidak sedikit, anggarannya besar, kan harus dievaluasi," ujar Indra.