Sabtu 04 May 2019 21:40 WIB

Antisipasi Gempa, Suami-Istri di Lembang Bangun Rumah Kayu

Saat terjadi gempa, rumah kayu yang dibangun bergoyang lentur mengikuti arah gempa.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Friska Yolanda
Pasangan suami istri, Raden Bagja Mulyana (40) dan Dewiyantini yang tinggal  di Desa Kayuambon, Lembang, Kabupaten Bandung Barat membuat rumah berbahan  kayu jati bagian dari mitigasi bencana.
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Pasangan suami istri, Raden Bagja Mulyana (40) dan Dewiyantini yang tinggal di Desa Kayuambon, Lembang, Kabupaten Bandung Barat membuat rumah berbahan kayu jati bagian dari mitigasi bencana.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Wilayah Lembang, Kabupaten Bandung Barat, tengah menjadi pusat perhatian di tingkat nasional. Sebab di wilayah tersebut terdapat sesar (patahan) Lembang dengan panjang 29 kilometer dan tiap tahun berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bergeser 0,3 milimeter. 

Tidak hanya itu, Sesar Lembang saat ini memasuki fase ulang untuk terjadi gempa bumi. Meski belum diketahui kapan bisa terjadi, rentang waktunya bisa terjadi dalam waktu 100 tahun ke depan. Sehingga, diperlukan kesiagaan atau mitigasi menghadapi potensi bencana gempa bumi.

Membaca kondisi tersebut, pasangan suami istri, Raden Bagja Mulyana (40 tahun) dan Dewiyantini yang tinggal di Desa Kayuambon, Lembang, tergerak untuk membuat rumah berbahan kayu jati (rumah panggung). Awal mulanya pada 2016 silam, mereka memilih membangun rumah kayu karena di wilayah Lembang masih terbilang asri dengan udara yang segar dan enak.

Seiring perjalanan, keberadaan rumah kayu tersebut menjadi bagian dalam melakukan upaya mitigasi bencana gempa di wilayahnya. "Awalnya sederhana (bangun rumah kayu), karena kita tinggal di kampung, juga udara enak. Rumah modern (dengan tembok) mah udah biasa," ujarnya, Sabtu (3/5).

Sebelum tahun 1990-an, rumah kayu (panggung) masih ada di wilayah Lembang. Namun, setelah itu, rumah-rumah warga lebih banyak dibangun dengan tembok. Ia pun terlebih dahulu berkomunikasi dengan istrinya terkait rencana membangun rumah kayu dan akhirnya disetujui bersama.

"Sama istri ngobrol soal rencana bangun rumah kayu. Apalagi di Lembang kan daerah bencana, ditambah ada Sesar Lembang. Dari situ baca-baca referensi cari model dan bahan ternyata pilih sederhana dan minimalis," ungkapnya.

Di area tanah seluas 70 meter persegi, Raden mengaku membangun rumah dengan konsep minimalis dengan dua kamar, satu ruang tengah dan teras. Seluruh bagian di depan dan tengah rumah penuh dengan kayu jati ditambah adanya anyaman bambu.

Untuk bahan bakunya sendiri, dirinya sempat kesulitan memperolehnya sebab tidak banyak yang menjual kayu jati di Lembang. "Untuk bahan baku kayu nggak gampang. Saya terpaksa mencari ke Cirebon dan Sumedang. Nanya-nanya, akhirnya dapat kayu jati di Cirebon," katanya. 

Ia bercerita seharusnya proses pembangunan bisa berlangsung hanya dua sampai tiga bulan. Namun akhirnya selesai dalam enam bulan. Kendala yang dihadapinya saat itu, ia menuturkan, adalah mencari tukang yang paham pemasangan kayu. Sebab, tukang yang membangun rumah kayu harus betul-betul paham cara membuat rumah kayu.

"Kebanyakan kayu-kayu yang dipasang pakai perekat serta saling mengunci. Tiang satu sama tiang lainnya mengunci. Ada sebagian pakai paku tapi tidak dominan," katanya.

Kesulitan lainnya, ia mengatakan, adalah persiapan kayu, mulai dari ketebalan, panjang yang disesuaikan kebutuhan misal untuk tiang, dinding dan rangka. Di bagian belakang rumah yang dibangun tempat dapur dan kamar mandi, sebagian memakai batubata. Itu dilakukan karena menyangkut keamanan dari api.

Banyak perubahan yang ia rasakan setelah membangun rumah kayu, terutama ketika terjadi gempa. Saat gempa terjadi, rumah miliknya yang dibangun dengan bahan kayu cenderung menjadi elastis dan lentur. Bangunan rumah terlihat mengikuti gerakan gempa. 

Selain itu, goncangan relatif tidak kencang dan tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan. Katanya, tiang utama rumah kayu miliknya dipasang dengan sistem purus dan cathokan.

"Pernah kejadian gempa, saya lihat ke atas lampu goyang. Terus keluar rumah dan lihat rumah lentur mengikuti gelombang gempa," katanya. 

Ia mengaku tidak mengetahui persis apakah rumah kayu miliknya bisa dibilang rumah antigempa. Namun begitu, dengan dirinya membangun rumah kayu, Raden mengungkapkan hal itu sebagai wujud antisipasi dan meminimalisasi dampak gempa. "Intinya kita berupaya meminimalisasi, antisipasi dan mitigasi," katanya. 

Karena bukan hal yang umum, ia mengungkapkan belum banyak yang membangun tempat tinggal dengan konsep bahan baku kayu. Kebanyakan, dirinya mengatakan warga berpikir membangun rumah megah itu dengan menggunakan batu bata atau beton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement