REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Perayaan May Day di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung sempat diiringi pembubaran kelompok baju hitam yang diduga melakukan aksi vandalisme dan meresahkan warga, Rabu (1/5) kemarin. Ratusan remaja tersebut mayoritas berstatus pelajar.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengomentari fenomena tersebut. Menurut Ridwan Kamil, kejadian itu adalah pelajaran bagi masyarakat bahwa berdemokrasi di negeri ini harus berpatokan pada aturan yang berlaku.
"Menjadi pelajaran agar kita di Negara Indonesia ini kebebasan (berpendapat) itu ada tata caranya, tidak sebebas-bebasnya," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (2/5).
Emil mengatakan, negara ini memang memberi kebebasan dalam mengutarakan pendapat termasuk melalui unjuk rasa. Adanya aksi atau demo, bukan suatu masalah selama tidak ada ketertiban umum dan hukum yang dilanggar.
"Sehingga hari buruh kemarin secara umum yang dilakukan oleh buruh berlangsung dengan lancar dan wajar, saya sendiri hadir bersama buruh di acara menyampaikan ikhtiar-ikhtiar pemerintah," paparnya.
Namun, kata Emil, ia menerima laporan ada kelompok masyarakat yang melanggar ketertiban dan ternyata mereka bukan buruh. Emil pun sangat menyesalkan kejadian tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada yang berwenang.
"Saya dengar kabar polisi sudah menangkap ratusan anak-anak yang dari klasifikasinya ternyata masih ada yang pelajar SMA dan SMP yang menurut pandangan saya mungkin hanya ikut-ikutan," katanya.
Emil mengatakan, walaupun para pelajar SMP dan SMA tersebut hanya terbawa-bawa untuk melakukan kegaduhan namun tetap saja ada konsekuensi yang harus diterima. Salah satunya memalukan nama keluarga.
"Kalau menyampaikan masalahnya dengan tertib saya kira tidak ada masalah, tapi pada saat dia melanggar risiko menjadi sebuah konsekuensi," katanya.
Termasuk, kata dia, yang masih pelajar berarti orang tuanya yang terkena getahnya. Selain dihukum orangtuanya dipermalukan dan lain sebagainya.
Emil memandang gerakan kelompok remaja baju hitam tersebut akibat sulitnya menyaring informasi di era digital ini. Emil menilai, yang dilakukan oleh kelompok yang disebut Anarko tersebut meniru yang terjadi di negara luar.
Emil mencontohkan negara Spanyol yang memang di era kepemimpinan Francisco Franco dinilai sebagai diktator fasis. Sementara di Indonesia, para pemimpin dipilih oleh masyarakat lewat pesta demokrasi.
"Sehingga tidak menemukan relevansinya, makanya saya bilang kebanyakan hanya ikut-ikutan saja. Yang penting hari ini bukan soal apa yang disampaikannya tapi cara menyampaikannya yang perlu kita edukasi dulu," paparnya.