Rabu 01 May 2019 18:39 WIB

Teknologi Menjadi Kunci Perpindahan Ibu Kota

pemindahan Ibu kota perlu dipikirkan lebih masak lagi.

Red: EH Ismail
Suasana Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (8/4/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Suasana Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (8/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Upaya pemindahan atau tetap di ibu kota lama perlu memperhatikan kebutuhan dan kemampuan teknologi. Fungsinya untuk membantu tugas dan fungsi jangka panjang. Peta jalan pemerintahan berbasis elektronik (smart government) harus dibuat dan dikaji lebih rinci, Begitu juga dengan kebutuhan ruang aparat, pertemuan, dan sistem terdistribusi agar bisa mengurangi beban Ibu Kota.

Hal itu disampaikan Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Suhono Harso Supangkat dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (1/5). Ketua APIC (Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas) ini mengatakan pada tahun 2045, aparatur negara dan penduduk millenial. Generasi yang tidak perlu kantor tetap, lebih bisa kerja di co-working space atau sistem kerja gabungan non-formal dengan dunia virtual.

Suhono mengatakan, fenomena ini akan berpengaruh terhadap rancangan government co working space. Masalah infrastructure sharing, tidak boleh dilupakan juga masalah keamanan fisik dan virtual. Hoaks dan hacker perlu di antisipasi lebih baik lagi,” ujarnya.

Menurutnya, pemindahan Ibu kota perlu dipikirkan lebih masak lagi. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana visi atau bentuk pemerintahan yang berakibat kebutuhan fisik dan virtual saling melengkapi.

Seiring dengan revolusi industri, maka revolusi pemerintahan juga perlu disiapkan dengan baik. Tol langit, jalan darat hingga maritim menjadi saling sinergi dalam suatu platform sistem cerdas.

Menjadi bahan diskusi

Wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia mencuat kembali akhir bulan April lalu. Isu tempat terus menjadi bahan diskusi. Ada tiga kota yg menjadi usulan, apakah di dekat kota Jakarta, seperti di daerah Jonggol , Kertajati Jabar hingga luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi.

Masing masing punya dasar dan alasan dengan faktor seperti biaya, teknis, sosial, keamanan, kenyamanan , ekonomi hingga lingkungan. Termasuk juga masalah pemerataan dan mungkin politik. Namun demikian, guru besar ITB ini melihat, masih jarang yang membahas (konsider) beban pemerintahan yang akan diemban oleh ibu kota kedepan.

“Katakan pada 100 tahun kemerdekaan tahun 2045. Selama 25 tahun cukup untuk melakukan Rencana Pembangunan dalam rangka pencapain cita cita bangsa,” ujarnya.

Suhono menjelaskan, transformasi pada hakikatnya adalah perubahan dari satu kondisi ke suatu kondisi yang diharapkan. Hijrah yang sering dimaknai pindah lokasi, bisa diartikan juga perubahan.

Sementara itu dalam 5 tahun terakhir masyarakat juga disibukan dengan hadirnya suatu revolusi industri yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0. Kehadiran disrupsi teknologi seperti IoT, Cloud Computing hingga kecerdasan buatan telah mengubah cara pabrik atau industri berproses.

Kehadiran teknologi ini tentu bisa memberikan kontribusi bidang bidang lain seperti bidang pendidikan, kesehatan , perdagangan hingga pemerintahan.

Pemerintahan 4.0

Pemerintahan yang mempunyai fungsi perencaanaan, pelaksanaan, pengaturan hingga pengawasan pembangunan tentu sangat bisa terbantukan oleh teknologi informasi. Observasi, Orientasi , Keputusan dan Tindakan sistem pemerintahan bisa lebih efektif.

Beban atau proses yang selama ini dilakukan untuk fungsi administrasi , baik dalam monitoring, pelaporan rapat bahkan proses pengambilan keputusan dengan mudah terbantukan oleh teknologi. Teknologi robot, komputasi, jaringan , hingga kecerdasan tiruan (artificial intellegence) sangat dimungkinkan mengurangi beban admistrasi pemerintahan.

Bahkan bisa dilakukan penyimpanan dokumen secara terdistribusi. “Jika ada bencana, data bisa disimpan secara mirror di beberapa lokasi atau yang disebut sebagai data recovery center. Pertemuan, rapat, koordinasi bisa dilakukan melalui jejaring video, teks dan suara,” kata Suhono.

Sejatinya pemerintah juga sedang menyiapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik , walau progresnya, sejak ada INPRES eGov 2003 hingga PERPRES SPBE 2018 masih belum membanggakan, karena mungkin ekosistem pendukungnya belum siap. 

Ekosistemnya menyangkut sarana dan prasarana, regulasi hingga sumber daya manusia. "Dalam kerangka 25 tahun kedepan menuju 100 tahun kemerdekaan , jika progres making Indonesia 4.0 berhasil maka proses proses pemerintahan mestinya dengan mudah dibantu oleh teknologi informasi," ujar dosen ITB ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement