REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat jumlah kerugian negara yang diderita berdasarkan 1053 putusan yang dikeluarkan pengadilan terhadap 1162 terdakwa adalah sebesar Rp 9,2 triliun. Dengan kerugian negara sebesar Rp 9,2 triliun upaya pengembalian kerugian tersebut (mekanisme asset recovery) belum maksimal.
"Jika dibandingkan dengan besaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 805 miliar dan 3 juta dolar AS, maka hanya sekitar 8,7 persen kerugian negara yang “diganti” melalui pidana tambahan uang pengganti," kata peneliti ICW Lalola Ester di Kantor ICW Jakarta, Ahad (28/4).
Di sisi lain, sambung dia, pada tahun 2018 hanya 3 terdakwa yang didakwa dan diputus dengan UU TPPU, yang menguatkan dugaan soal minimnya upaya penjeraan pelaku korupsi melalui mekanisme pemiskinan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan kondisi di 2017, di mana hanya 4 terdakwa yang didakwa dan diputus dengan pasal pencucian uang.
Namun demikian, tambah dia, upaya pengembalian kerugian negara (asset recovery) dapat pula dilakukan melalui mekanisme lain seperti penerapan gratifikasi yaitu, Pasal 12 B ayat (1) UU Tipikor. Pasal tersebut diharapkan dapat menjadi alternatif untuk mekanisme asset recovery untuk perkara-perkara korupsi. Salah satu pendekatannya yakni pembalikan beban pembuktian secara terbatas dapat digunakan untuk merampas harta-harta yang keabsahan perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pemiliknya.
"Pada 2018, penggunaan pasal gratifikasi banyak dilakukan oleh KPK, baik sebagai pasal dakwaan yang berdiri sendiri maupun yang dikumulasikan dengan pasal suap," ujarnya.